1000an Gempa Lombok, Lantai Sebelas dan Arsitektur Klasik
Duta Damai Indonesia Trauma Relief, Pakel, Gunungsari |
Semoga tulisan ini menemukanmu dalam keadaan sehat dan tetap optimis akan hari-hari di mana kamu bisa membangun kembali rumahmu yang hancur, membangun kembali desamu yang runtuh, kembali bersekolah, kembali bekerja tanpa harus khawatir siapa yang akan menemani ibu, anak dan adik-adikmu di rumah, sepulang dari kantor kamu akan tidur dengan tenang di atas ranjangmu tanpa guncangan menakutkan karena pada saat itu, our mother earth is already settled.
Gempa Lombok
2018 dan Lantai 11 Golden Palace
Pertama kali
saya berkenalan dengan gempa pada saat saya masih SD. Saya mempelajarinya pada
pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam seperti anak-anak pada umumnya. Dilanjutkan
pada tingkat SMP dan SMA pada pelajaran geography. Dengan jelas juga disebutkan
bahwa Indonesia adalah negeri gunung api atau volcano nation, letaknya merupakan
bagian dari Ring of Fire yang menjadikan Indonesia sebagai
negara yang rentan gempa. Selama masa sekolah ataupun menempuh pendidikan di
perguruan tinggi saya tidak pernah mendapatkan simulasi bencana alam, seperti
gempa dan tsunami atau kebakaran.
Simulasi
kebakaran pertama kali saya dapatkan di Australia saat saya bekerja
sebagai teacher assistant di sana. Sedangkan simulasi gempa
pertama kali saya dapatkan saat saya bekerja sebagai guru di salah satu sekolah international di
Lombok yang letaknya sekitar 100 meter dari bibir pantai. Pada tahun 2014,
seorang teman dari teman bernama Mas Hendy Setiawan, berstatus mahasiswa dengan
jurusan Civil and Earth Engineering di Kyoto
University, Jepang datang ke Lombok bersama komunitasnya untuk community
development tentang gempa di beberapa sekolah dasar di Lombok bersama
EduLand, komunitas yang saya bangun bersama beberapa teman.
Saya dan
teman-teman pun bertanya-tanya mengapa Lombok, mengapa bukan Aceh atau Yogya
atau provinsi yang berada di Sumatra. Jawaban Mas Hendy singkat, ia hanya
menjawab bahwa negara kepulauan memang selalu rawan gempa dan Lombok termasuk
di dalamnya. Jawaban yang sangat pas untuk orang awam seperti saya. Bersama
timnya, mereka menggunakan drama untuk menyampaikan pesan survival
skill pada anak-anak. Tuhan seperti berusaha memberi petunjuk, tapi
kolaborasi tersebut tidak membuat saya terdorong untuk belajar tentang gempa
terutama di negara kepulauan yang saya cintai ini. Hingga akhirnya saya
terjebak di lantai 11, Golden Palace, yang juga merupakan salah satu hotel
tertinggi di Pulau Lombok dan digoyang oleh gempa dengan magnitude 7.0 (BMKG)
atau 6.9 menurut EMSC. I thought I would die!
Partisipan dari Australia, Pilifina, Tailand dan Indonesia |
Saat itu saya mengikuti konferensi 9 negara terkait masalah terorisme. Acara ini dihadiri oleh Wakil Gubernur, Menhankam dan Menteri Dalam Negeri Australia. Sebelumnya saya berada di lantai 12 untuk gala dinner, namun karena kunci teman saya tertinggal di ruang meeting yang berada di lantai 11, kami kembali ke ruangan tersebut. Saat berjalan di koridor, saya tiba-tiba terjatuh, kemudian mencoba berdiri sambil terombang-ambing, Hani mengenggam pergelangan tangan saya dengan sangat kuat, listrik tiba-tiba mati. Dalam kegelapan seorang lelaki berteriak “Emergency Exit is over here”. Sambil terhuyung kami berlari menyebut Allahhuakbar tanpa henti. Dalam kegelapan lelaki itu meminta kami untuk tenang, meminta kami tetap berdiri di pintu menunggu goyangan tersebut berhenti, namun saya dan Hani tidak bisa menahan panik. Kami menuruni tangga dan tiba-tiba lampu menyala kembali, di belakang kami terdengar riuh suara kaki, diiringi tangis dan retakan dinding gedung. Di pojok setiap tangga yang menguhubungi satu lantai dengan lantai yang lain berdiri, dua laki-laki muda menjalankan tugasnya berteriak “tenang dan hati-hati” membuat hati saya semakin pilu. Setelah mencapai area parkir depan hotel, orang-orang sibuk menelpon keluarga mereka. Banyak juga dari mereka yang langsung pingsan. Setelah meberikan air pada Hani, berusaha menyenangkan diri dan menghubungi keluarga, saya dan yang lainnya digiring ke tempat yang aman oleh polisi. Tim security Golden Palace memang sangat siaga!
Malam itu jalan
utama penuh, semua orang berlarian ke arah timur karena warning tsunami yang
dikeluarkan oleh pihak BMKG. Saat mencapai Desa Kekeri, tempat saya tinggal,
keaadaan tidak jauh berbeda, semua orang berjalan, naik motor, mencari keluarga
kemudian mengungsi ke bukit-bukit walaupun peringatan tsunami telah dicabut
oleh BMKG. Malam itu saya tidur sekitar jam 3 pagi, di bawah tenda darurat yang
terbuat dari terpal yang disangga oleh bambu, setelah gempa-gempa dengan
skala-skala kecil 6, 5, 4, 3 mengguncang.
Pusat gempa berada di Lombok Utara, tidak jauh dari epicenter gempa 6.4 SR yang terjadi seminggu sebelumnya, tepatnya pada tanggal 29 July 2018. Sejak tanggal 5 Agustus, terhitung Lombok telah diguncang lebih dari 1000 gempa(BNPB) dengan 6 kali gempa besar. Gempa besar terakhir bermagnitudo 7 terjadi pada tanggal 19 Agustus. Lombok Utara, Lombok Timur dan Lombok Barat menjadi korban terparah gempa. Lebih dari 500 orang meinggal, korban luka-luka lebih dari 7000 dan lebih dari 400.000 warga Lombok harus mengungsi (BNPB).
Pusat gempa berada di Lombok Utara, tidak jauh dari epicenter gempa 6.4 SR yang terjadi seminggu sebelumnya, tepatnya pada tanggal 29 July 2018. Sejak tanggal 5 Agustus, terhitung Lombok telah diguncang lebih dari 1000 gempa(BNPB) dengan 6 kali gempa besar. Gempa besar terakhir bermagnitudo 7 terjadi pada tanggal 19 Agustus. Lombok Utara, Lombok Timur dan Lombok Barat menjadi korban terparah gempa. Lebih dari 500 orang meinggal, korban luka-luka lebih dari 7000 dan lebih dari 400.000 warga Lombok harus mengungsi (BNPB).
Seorang Ibu sedang mengumpulkan buku-buku bersama anaknya, Desa Jeringo |
Beberapa dusun
di desa saya cukup parah, rumah mereka sudah tidak layak huni lagi.
Genteng-genteng berjatuhan, dinding roboh, langit-langit tergeletak di lantai,
lemari-lemari terbalik bahkan atap-atap mereka roboh menyentuh lantai.
Prediksi dan
Pembaca Awam
Di sela-sela menjadi relawan, hal yang paling
sering saya lakukan akhir-akhir ini adalah membaca berbagai info tentang gempa.
Article pertama yang saya baca adalah tentang prediksi gempa dunia pada tahun
2018, Scientists
Predict 2018 Will Be a Bad Yearfor Earthquakes. Here’s Why ditulis pada bulan november tahun
lalu di majalah online times.com. Article lainnya Upsurge
in big earthquakes predicted for2018 as Earth rotation and slow dari
the guardian. Pada bulan dan tahun yang sama dengan article sebelumnya, Powerful earthquakes to ravage Earth in 2018 as
planet rotationtemporarily slows terbit
di mirror.uk. Ketiga artikel ini memang setuju bahwa
memprediksi gempa secara akurat itu sangatlah sulit bahkan tidak mungkin namun
studi baru dari Bilham dan Bendick menemukan hal lain terkait dengan
masalah quake-prone periods di mana rotasi bumi mengurangi
kecepatannya, kepadatan bumi yang semakin berkurang, tidak hanya pada udara dan
lautan termasuk inti luar bumi. Artikel ini juga membuktikan bahwa pergerakan
planet dan rotasi bumi berpengaruh terhadap gempa.
“Bilham and Bendick noticed something else about these volatile, quake-prone periods. They seem to follow periodic slowdowns in speed of the Earth’s rotation. Our solid planet is a lot less solid than it seems, and that’s true not just of its oceans and air, but of its outer core, which is about 1,200 mi. (2,200 km) thick and is composed mostly of liquid iron and nickel. That molten ooze tends to slosh about, following a pattern that oscillates more or less predictably over time, much the way — on a vastly smaller and more fleeting scale — water sloshing in a bucket will move back and forth in a repeating cycle. Such motion deep inside the Earth slightly changes the planet’s rate of spin, adding to or subtracting from the 24-hour day by about a millisecond — a change that is regularly recorded by atomic clocks. When a slowdown occurs, the molten core continues to strain outward, obeying Newton’s fundamental law that objects in motion will try as hard as they can to remain in motion.
“Bilham and Bendick noticed something else about these volatile, quake-prone periods. They seem to follow periodic slowdowns in speed of the Earth’s rotation. Our solid planet is a lot less solid than it seems, and that’s true not just of its oceans and air, but of its outer core, which is about 1,200 mi. (2,200 km) thick and is composed mostly of liquid iron and nickel. That molten ooze tends to slosh about, following a pattern that oscillates more or less predictably over time, much the way — on a vastly smaller and more fleeting scale — water sloshing in a bucket will move back and forth in a repeating cycle. Such motion deep inside the Earth slightly changes the planet’s rate of spin, adding to or subtracting from the 24-hour day by about a millisecond — a change that is regularly recorded by atomic clocks. When a slowdown occurs, the molten core continues to strain outward, obeying Newton’s fundamental law that objects in motion will try as hard as they can to remain in motion.
That outward pressure slowly propagates through the rocks and plates and faults that lie above it. Bilham and Bendick calculate that it takes five to six years for the energy sent out by the core to radiate to the upper layers of the planet where quakes occur, meaning that after the atomic clock notices a slowdown you’ve got five to six years before you’d better buckle up.
The last such time the planet slowed was in 2011, and recent events suggest a troubling pattern again playing out: the magnitude 7.1 quake that struck Mexico City on Sept. 19; the 7.3 event on the Iran-Iraq border on Nov. 12; and the 7.0 off New Caledonia on Nov. 19. Not only does the new study suggest when there could be an uptick in quakes, it also points to where: near the equator, within a latitude of 30º north or south. It makes sense that this would be the danger zone because any given point along the equator — the planet’s widest point — rotates up to 1,000 mph (1,600 k/h) faster than a point closer to the poles, so a slowdown in the overall spin would be more powerful along that midline. The Iran-Iraq quake occurred at about 33º north latitude, exceeding that cartographic limit, but not by much.
None of this says that 2018 will definitely be a more geologically unstable year, and it certainly doesn’t pinpoint where any possible quaking will occur. None of this says that 2018 will definitely be a more geologically unstable year, and it certainly doesn’t pinpoint where any possible quaking will occur. It does say that the maddeningly imprecise science of earthquake prediction has at least gotten a tiny bit more precise. For disasters with such deadly stakes, even that small improvement makes a difference.” (time.com)Trauma Relief, Rempek, Lombok Utara |
Dengan gamblang pula dijelaskan bahwa ilmuan
dapat mengetahui daerah rawan gempa berdasarkan data sejarah gempa yang pernah
terjadi di daerah tersebut. Sudah sangat jelas bahwa gempa sebagian besar
terjadi di daerah equator.
Selain membaca artikel-artikel ini saya juga mebaca perdebatan antara independent seismologist dan official seismologist serta metode-metode yang mereka jadikan acuan. Seismologist dari ditrianum.org menggunakan pergerakan planet dan bulan sebagai acuan dalam menetapkan prakiraannya. Dalam perkiraannya ditrianum hanya memberitahukan kemungkinan kekuatan gempa yang bisa terjadi dan perkiraan waktu siaga. Website ini tidak menunjuk titik kemungkinan di mana gempa itu bisa terjadi. Perkiraan dari website ini memang cukup akurat walau sering kali dituduh hoax.
“Although it's impossible to predict where the earthquakes will happen, the pair's research showed that historically they occur around the equator in the Earth's tropical regions.” (mirror.uk)
Artikel lainnya yang saya baca berjudul “Ring of Fire” hit with 70 earthquakes in just 48 hours, dipublikasikan oleh newyorkpost.com tanggal 22 Agustus tiga hari setelah Lombok diguncang gempa besar ketiga dengan magnitude 7. Artikel ini menceritakan gempa-gempa berkekuatan 7+ yang terjadi di sekitar wilayah Ring of Fire dan memberi peringatan pada California untuk tetap waspada. Hal ini membuat saya rindu dengan Amerika Serikat, saat bencana terjadi arus informasi tentang bencana tersebut dibicarakan dengan sangat terbuka di berbagai media cetak dan channel TV mereka, bahkan pada channel khusus yang membahas tentang cuaca dan bencana alam. Semoga suatu hari Indonesia bisa punya TV channel yang khusus membicarakan tentang cuaca atau tentang aktivitas seismic mengingat seluruh kepulauan adalah bagian dari Ring of Fire.
Selain membaca artikel-artikel ini saya juga mebaca perdebatan antara independent seismologist dan official seismologist serta metode-metode yang mereka jadikan acuan. Seismologist dari ditrianum.org menggunakan pergerakan planet dan bulan sebagai acuan dalam menetapkan prakiraannya. Dalam perkiraannya ditrianum hanya memberitahukan kemungkinan kekuatan gempa yang bisa terjadi dan perkiraan waktu siaga. Website ini tidak menunjuk titik kemungkinan di mana gempa itu bisa terjadi. Perkiraan dari website ini memang cukup akurat walau sering kali dituduh hoax.
Sementara itu EMSC, USGS, BMKG dan lembaga
resmi terkait masalah gempa tidak bersedia mengeluarkan perkiraan gempa dengan
alasan tidak ada satu alat pun yang sampai sekarang bisa memprediksi gempa
secara akurat. Ilmuan-ilmuan resmi biasanya menggunakan teori
tektonik yang erat kaitannya dengan lempeng bumi, gunung api dan
kondisi tanah bumi. Mungkin
mereka takut jika kredibilitas mereka dipertanyakan apabila melakukan prediksi
yang salah. Lembaga-lembaga resmi ini
biasanya mengeluarkan peringatan atau pengumuman, mencatat dan meneliti
kejadian gempa yang terjadi di belahan dunia untuk diterbitkan melalui
aplikasi, website atau press release mereka. Tentu lembaga-lembaga resmi ini sangat dibutuhkan terutama dalam hal pengumpulan data.
Dalam kondisi kritis dan haus informasi seperti
keadaan saya sekarang, banyak penduduk Lombok termasuk saya mengikuti
sebuah facebook page bernama earthquake and
weather yang dibuat oleh independent siesmologist berkebangsaan
Belanda. Seperti lembaga resmi lainnya seismologist pada page ini
juga menggunakan dasar teori yang sama, namun sangat gamblang dalam menyampaikan pendapat dan
prediksi. Mendengar prediksi dari page ini membuat saya lebih waspada dan selalu siap dengan my emergency bag,
sebelumnya prediksi yang dilakukan page ini juga telah
menyelamatkan banyak orang di Mexico dan Lombok terutama pada gempa 7 SR yang
terjadi pada tanggal 19 Agustus.
Arsitektur
Klasik Anti Gempa
Saat
mengikuti short course sustainable tourism di
Griffith University saya pernah mendapatkan kelas tentang arsitektur dan tata
ruang kota. Kalimat yang paling saya ingat dari kelas ini adalah “Forms in
architecture follow function and fiction”. Function mengacu
pada tempat berlindung sedangkan fiction mengacu pada nilai
seni sebuah bangunan. Gempa Lombok telah membuat saya memandang sebelah mata
arsitektur modern, rumah-rumah yang terbuat dari batu-bata hancur,
gedung-gedung tinggi retak, bahkan miring. Bangunan ini telah membunuh banyak
orang, menyisakan trauma, sangat berlawanan dari fungsi arsitektur
sebenarnya. Mondern engineering memperburuk bencana alam.
Bangunan yang
bertahan dan berdiri kokoh di Lombok sebagian besar adalah rumah-rumah yang
terbuat dari bambu dan kayu yang masih memegang teguh prinsip arsitektur nenek
moyang. Pada musim gempa seperti ini kegiatan penduduk di desa-desa
adat sama seperti hari-hari biasa, hampir tidak ada yang berubah. Mereka tidak
perlu tidur di tenda, mereka tetap berladang, anak-anak mereka pun tidak
terlalu takut dengan gempa karena rumah mereka memegang teguh prinsip utama
arsitektur.
Bangunan yang
cukup tahan gempa lainnya adalah bangunan Lombok Learning Village, sebuah
sekolah yang terletak di sekitar wilayah Senggigi. Bangunan ini berbentuk
hexagon dengan campuran besi yang kuat sebagai dasarnya. Bentuk ini terinpirasi dari sarang lebah dan geometric art kuno dari timur tengah. Walaupun sekolah ini
masih bisa digunakan, sekolah ini memutuskan untuk tidak beroperasi sementara
karena sebagian besar muridnya memilih untuk kembali ke negaranya
masing-masing. Beberapa memilih untuk tetap tinggal dan sekolah di rumah
atau homeschooling.
Gempa ini juga
mengubah rumah impian saya. Suatu hari nanti saya ingin membuat rumah
tradisional cina dengan dugong joints. Bentuknya juga sangat indah,
setiap pertemuan kayu yang satu dengan kayu yang lain saling mengunci membentuk
persatuan yang kuat untuk menopang atap. Rumah-rumah tradisional Cina bisa
tetap bertahan terhadap gempa berkekuatan 9+, jadi pada musim gempa seperti ini
saya tidak perlu tidur di tenda selama berbulan-bulan.
Semoga gempa ini menyadarkan Indonesia, khususnya Lombok untuk melakukan simulasi gempa dan tsunami di sekolah, di rumah sakit, di universitas, di kantor-kantor pemerintahan dan swasta serta di desa-desa untuk melatih survival skills.Stay safe, hope this earthquake end soon and I promise, I will write you a better news!
saya bisa bayangkan gimana rasanya berada di lantai 11 ketika gempa 7SR itu. Allahuakbar!
ReplyDeleteSalut untuk emergency team GP yang tetap tenang dan berusaha menenangkan meski keadaan segenting itu...
Saya juga follow earthquake and weather!! Banyak yang bilang hoax, tapi saya pikir analisisnya bagus.
ReplyDeleteLombok Bangkit!
ReplyDelete