Daur Fest 2018: Sustainability Party Bersatu Melawan Sampah
I am a party person. I join many kinds of parties such as writer and
reader party, coffee art party (I don’t really drink coffee), philosophy party and
the recent party that I’ve just joined called sustainability party or Daur
Fest.
Terlepas dari politik air,
politik udara, gempa ribuan kali dan jumlah sampah yang mungkin sekarang sudah melebihi
berat dari berat seluruh manusia di bumi jika disatukan, di sebuah pulau kecil,
Gili Air, pulau yang terancam tenggelam karena climate change, sekolompok
pemuda dengan optimis bergerak menyatukan komunitas-komunitas lingkungan dan
eco-bisnis melalui Daur Festival. Mereka bertemu dalam satu halaman di bawah
pohon jowet yang teduh untuk melakukan promosi dan advokasi terkait masalah
sampah plastik.
Tema sustainability yang diusung terasa sangat kental, tidak hanya
karena kehadiran komunitas-komunitas lingkungan dan eco-bisnis tetapi juga
karena setiap alat dan seting dari pesta tersebut penuh dengan sampah yang
indah. Saat memasuki gerbang bambu yang dihiasi dengan botol-botol minuman
warna-warni, saya disambut oleh deretan foto-foto pantai dan daerah-daerah
penuh sampah di wilayah Nusa Tenggara Barat yang diletakkan pada photo-stand kayu.
Foto-foto tersebut membuat saya dan pengunjung lainnya berhenti sejenak.
Foto-foto itu juga membawa kenangan saya kembali pada seorang murid bernama
Phoenix, umurnya sekitar 9 tahun, ketika saya memintanya untuk menjelaskan
simbiosis parasitisme, ia akan menjelaskannya dengan gaya bahasanya sendiri.
“Parasitism is one happy, and the other one is not happy about it, for
example, human and forest or plants, human and ocean, human and fish, human is
kind of parasite actually, they make forest and animal sad”
Saat mendengar jawabannya saya
sedih dan tersindir, perasaan malu menjadi manusia pun muncul. Saya juga
terharu dan bangga punya siswa sepertinya, well I am not really good teacher,
because all the time I am only interested in my bright students.
“Phoenix, actually symbiosis is the relation between two different
species, under the same kingdom since I never found any examples like the ones
you’ve just mentioned in my resources but that was beautiful example in its own
way.”
“Human and fish can be, the same kingdom and different species, pig and
worm insides its tummy, what if it is parasitism but under different kingdom,
what do you call it? Well I think human and trees are parasitism symbiosis Buq,
it’s just human or maybe the scientists do not want us feel bad or they don’t
want to blame themselves, I mean human, and that’s why you don’t find any like
mine.”
“Yeah I think you are right, or probably I need to find better
resources, well in the test, most of the time it just says symbiosis is the
relation between two different species, I don’t think it will be that detail
like my own conclusion, and I don’t think you will find the examples that you
mentioned in the exam.”
“It’s because human doesn’t like to blame themselves Buq”
Mendengar balasannya saya hanya
tersenyum dan merasa beruntung mengajar dan belajar dari seorang deep thinker kecil. Lamunan saya terpotong
oleh suara pengunjung yang sedang mengantri di meja reception, dari tempat saya berdiri terdengar pula suara anak-anak
yang sedang bermain dan mencoba beberapa alat perkusi dan game-game yang terbuat dari sampah. Panggungnya terbuat dari
kayu-kayu bekas tempat buah, kursinya tempat para musisi dan pembicara duduk
adalah tumpukan rapi dua kotak plastik bekas minuman bersoda yang di atasnya
dilapisi bantal kecil, latar dari panggungnya adalah kain putih bertulis Daur
Fest 2018 dengan gambar penyu yang melambangkan bumi seperti philosophy suku Indian, selain itu gili
identik dengan penyu dan terlebih lagi populasi penyu di dunia terus menurun.
Di sekeliling panggung,
kursi-kursi panjang berjajar membentuk setengah lingkaran, di belankangnya
berdiri sekitar delapan meja dan kursi yang menjadi stan-stan komunitas,
yayasan dan eco-bisnis dengan
produk-produk organik dan berbagai produk menarik dari sampah dan barang-barang
bekas. Di antaranya Bale Jukung yang menjual madu organik dan kopi, Gumi Bamboo
dengan sedotan bamboo dan kacamata jaman now yang terbuat dari denim-denim
bekas, Environment Without Boundaries dengan berbagai macam perhiasan dan
furnitur yang terbuat dari sampah plastic dan barang bekas, Trash Hero yang
juga memamerkan karya seni seperti lukisan dari sampah, Origin dengan sabun dan
sunscreen tanpa SLS, Bekebon dengan super jus organik yang terjual habis
sebelum festival selesai dan stan Daur sendiri dengan berbagai souvenir yang
terbuat dari tutup botol dengan corak seperti lukisan-lukisan abstrak Jackson
Polock. Di beberapa pojok terdapat gallon air minum di mana pengunjung bisa
mengisi ulang air menggunakan botol mereka sendiri.
Acara berlangsung dari pukul 1
siang hingga jam 6 sore. Anak-anak, pemuda dan ibu-ibu Gili Air, turis baik
lokal maupun international berkumpul, duduk rapi dan berdiri menikmati acara yang
dibuka langsung oleh lantunan biola dan permainan apik Lombok Perkusi yang
menghasilkan nada-nada merdu dari ember-ember bekas memukau para pengunjung, kemudian
diikuti oleh sambutan inspiratif dari Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan founder
sekaligus leader project Daur, Adhitya Yusuf yang juga menginisiasi festival
ini. Talk Show, pertunjukan dari Angklung Siswa Gili Air dan stand up komedi
menjadi rangkaian dari acara tersebut.
Selain sebagai ajang meet and greet bagi yayasan, komunitas dan eco bisni, festival ini
juga bertujuan untuk memperkenalkan dan menjual souvenir yang dibuat oleh
ibu-ibu dan bapak-bapak di Gili Air yang telah di berikan pelatihan oleh Daur
dan tentunya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang sampah dan perubahan
iklim. Acara Daur Fest ditutup oleh ucapan terima kasih dari tim Daur kepada
semua pihak yang telah memberi dukungan sebelum dan selama acara berlangsung.
Comments
Post a Comment