SAIGON: Makan Darah and I Lost in Translation
Tahun 2016 saya berjanji kepada dua sahabat saya untuk liburan bersama ke salah satu negara ASEAN, pilihan kami akhirnya jatuh pada Vietnam karena Vietnam punya hubungan sejarah yang erat dengan USA dan karena National Geographic, langkah awal kami adalah membentuk group di Whats App bernama Vietnam Trip. Karena berbagai alasan seperti masalah pekerjaan, kesehatan, bencana alam dan keuangan janji ini akhirnya kami genapkan pada awal tahun 2019.
Selama dua tahun hal yang kami lakukan adalah berbagi artikel tentang tempat-tempat indah dan menarik tentu saja dari National Geographic serta page-page lokal Vietnam dari social media yang ditulis dalam Bahasa Vietnam dengan terjemahaan Bahasa Inggris yang bisa dimengerti. Kami mengenal peta Vietnam dengan baik. Kami bahkan bisa mengingat lebih dari sepuluh kota-kota utama di Vietnam yang tersebar dari utara ke selatan.
Selama dua tahun hal yang kami lakukan adalah berbagi artikel tentang tempat-tempat indah dan menarik tentu saja dari National Geographic serta page-page lokal Vietnam dari social media yang ditulis dalam Bahasa Vietnam dengan terjemahaan Bahasa Inggris yang bisa dimengerti. Kami mengenal peta Vietnam dengan baik. Kami bahkan bisa mengingat lebih dari sepuluh kota-kota utama di Vietnam yang tersebar dari utara ke selatan.
Kota pertama yang kami tapaki
adalah Saigon yang juga dikenal dengan nama Ho Chi Minh City. Kami tinggal di travel point yang disebut daerah Pam Ngu
Lao di mana sebagian besar hotel dan penginapan untuk pelancong berpusat. Dari
bandara saya menaiki bus dengan nomor 109 seperti yang disarankan oleh berbagai
review di trip advisor. Kenek bus adalah seorang perempuan muda dengan Bahasa
Inggris seadanya. Setelah menunggu penumpang, bus melaju memasuki kota. Saigon
terlihat seperti kota tua karena motor dan mobil yang melintas seperti
kendaran-kendaran pada saat saya masih duduk di bangku SD. Di dalam bus 109, hampir 100%
adalah wisatawan asing. Sebenarnya saya ingin berbicara dengan Pak Supir namun
sayang beliau tidak bisa berbahasa Inggris. Sepanjang perjalanan jika ada
pertanyaan beliau hanya menyebut nama jalan dan distrik 1, 2 atau lainnya, saat
ditanya balik, dia akan menjawab “no English, sorry.”
Sekitar 15 menit, akhirnya kami
sampai tujuan. Matahari cukup terik, waktu makan siang belum melewati batasnya.
Kami berhenti di sebuah warung yang ramai. Warung itu dipenuhi oleh pegawai
kantoran yang datang untuk makan siang. Mereka duduk di atas kursi-kursi
berkaki pendek. Dengan perut lapar, tanpa pikir panjang kami memesan makanan
dengan menggunakan bahasa tubuh. Pelayan warung sama sekali tidak mengerti kata
vegetarian. Saya memesan mie tanpa daging dengan menunjuk semua hewan yang
digantung.
Tidak lama kemudian, makanan kami
datang. Saya mencampur berbagai saus dan kecap yang tersedia di depan saya.
Rasanya sangat enak, mie Vietnam jauh lebih enak dibanding mie yang saya makan
di Indonesia. Khusus untuk pesanan saya, makanan berbentuk seperti tahu berwarna
merah diberikan lebih banyak karena saya memesan mie tanpa daging. Kami
memakannya dengan lahap. Saat mie di mangkuk kami hampir kosong, seorang
laki-laki terpaksa bergabung dengan kami karena meja yang kurang. It turned out that he speaks little bit
English dan tiba-tiba bertanya kepada saya.
“Do you like this?” Menunjuk tahu
merah di mangkuk saya.
“It’s red tofu, right?” Saya
menjawabnya dengan pertanyaan.
“Yeah, it is blood tofu, it is
blood.” Katanya dengan nada datar.
“You mean blood?” Saya berharap
lelaki itu salah pronunciation atau
semoga telinga saya salah dengar.
“Yes blood.” Dengan jawaban lebih tegas.
Setelah mendengar konfirmasinya,
wajah kami berubah pucat, kemudian kami memindahkan sisa tahu darah ke piring
kecil yang sebelumnya dijadikan alas mangkuk. Kami pun mengucapkan terima kasih
atas penjelasan yang diberikan oleh lelaki itu, kemudian bergegas membayar dan
mencari hotel tempat kami tinggal. Dengan menggunakan peta yang kami print, Saigon Central Hostel dengan
mudah ditemukan. Sesampainya di hotel, dengan cepat saya meminta password wifi dan mengoogle apa yang baru saja saya makan. Yang saya makan adalah pig blood curd atau tahu Cina yang terbuat
dari darah babi atau darah bebek yang dikeraskan and I am not sure which one I had. Biasanya makanan ini sangat
populer di Hongkong, Cina, Taiwan dan Vietnam. Sejak saat itu, kami lebih berhati-hati mencari tempat makan. Di daerah ini hanya terdapat dua restauran halal.
Nice to meet u mb Zi π
ReplyDeleteNice to meet u mb Zi π
ReplyDeleteNice to meet you too dminkampoeng!!! I am checking your blog!
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBaca tentang CCI, eh keterusan baca sampai sini. Saya juga pernah hampir makan ini di Taiwan, curiga sih pas mereka bilang "it's duck" tapi warnanya merahπ
ReplyDeleteOiya, Salam kenal mbak Zi :)
ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
ReplyDeletehanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^