Tra Su Forest, I am in Love
Saat mengetahui waktu tempuh dari Saigon ke Tra Su National Park sekitar 7 sampai 8 jam naik bis, saya dan
teman-teman memutuskan mengambil tur tiga hari. Harga yang kami dapatkan pun
lebih murah dari harga yang didapatkan turis-turis lain. Beberapa teman
seperjalan kami mendapat harga hingga 1.8 juta Dong, dua kali lipat dari harga
yang kami dapatkan. Dalam rupiah harga yang harus kami bayar masing-masing sekitar
500.000 termasuk biaya penginapan dan tiket masuk ke semua tempat yang akan
kami kunjungi, murah bukan?
Tur diawali dengan kunjungan ke sebuah kuil tua yang dulunya pernah menjadi pusat ibadah Vietnam dan Kamboja. Pada halaman kuil terdapat sebuah patung Buddha besar yang sedang beristirahat, lelap dengan tangan kanan sebagai bantal. Wajahnya yang tenang seperti mengatakan “Enjoy your holiday!” pada semua pengunjung. Kuil ini menyadarkan saya bahwa bagi masyarakat Vietnam hari kematian lebih penting dari pada hari lahir. Hari kematian dirayakan lebih meriah dan orang Vietnam sangat menghargai nenek moyang mereka. Keluarga di negara ini biasanya membuat kuil khusus untuk para leluhurnya. Pada hari ulang tahun kematian leluhurnya, mereka akan mengunjungi kuil dan makam bersama-sama. Dalam perjalanan menuju destinasi berikutnya, dari dalam bis, banyak terlihat makam-makan mandiri yang berdiri di lahan pribadi.
Sekitar jam 10 pagi, bis kecil
bermuatan 15 orang sampai di sebuah
pelabuhan Sungai Mekong yang akan membawa kami ke provinsi Ben Tre. Tour di
wilayah hilir Mekong disebut Mekong Delta. Mekong Delta sering disangka satu
provinsi sendiri tapi sebenarnya terdapat 13 provinsi di area ini. Panjang
Sungai Mekong sendiri sekitar 4.350 km, mengalir ke Laut Cina Selatan dan
memiliki 9 cabang. Warna airnya keruh kecoklatan akibat banyaknya penambangan
pasir. Untuk mencapai provinsi Ben Tre
kami melewati sekitar 3 provinsi. Ben Tre adalah provinsi yang terdiri dari 4
pulau. Sangat susah untuk saya mengingatnya satu satu. Setiap nama terdiri dari
tiga kata di mana setiap kata hanya terdiri dari satu suku kata.
Setiap pulau memiliki daya Tarik
tersendiri, pulau perrtama kami
disuguhkan dengan buah-buah tropis dan minuman sehat dari madu sambil dihibur
dengan lagu yang dinyanyikan oleh gadis-gadis muda dan tua dalam busana
tradisional Vietnam. Tur kami di pulau ini ditutup dengan 15 menit menaiki
perahu kecil melalui kanal-kanal kecil yang membelah pulau. Di Pulau kedua kami
mengunjungi pembuat manisan kelapa, rasanya seperti dodol rasa kelapa. Kami
melihat proses pembuatan hingga proses packagingnya. Sedangkan di pulau ketiga
kami makan siang dan menikmati taman-taman di sekitar sungai. Beberapa teman
tour saya mengunjungi pusat peternakan buaya. I skipped it because I am a
vegetarian, instead saya mencoba ayunan-ayunan yang ada di taman sebelum
kembali ke pelabuhan utama. Saat mencapai pelabuhan di pulau induk, bis sudah
siap menunggu, kami melaju menuju provinsi lainnya di mana Can Thao, kota
terbesar di Mekong Delta berada, tempat di mana kami akan menghabiskan malam.
Can Thou adalah kota romantis yang menghadap salah satu cabang Sungai Mekong. Kota ini terasa semakin romantis saat seorang laki-laki berwajah Amerika campur Korea memberikan saya buah manggis. Anyway, di pusat kota terdapat pasar malam dan berbagai rumah makan yang menyediakan menu-menu lokal dan international. Malam itu saya dan dua teman saya makan malam di sebuah rumah makan yang terletak di rooftop hotel. Dari rumah makan ini, terlihat tiga kapal yang merupakan rumah makan terapung dan tempat berdansa. Papan-papan iklan yang jumlahnya tidak banyak sama sekali tidak mengganggu pemandangan.
Hari kedua kami harus bangun pagi-pagi
sekali dan bergegas menuju pasar terapung. Pemandangan di pasar ini sangat
feminis. Ibu-ibu Vietnam mengendalikan botanya dengan cekatan. Saat perahu kami
memasuki pasar. Boat-boat pedagang mengejar dengan lihati dan mengkaitkan tali
boatnya pada boat kami. Ada yang menjual kopi, mangga, lengkeng dan berbagai
buah-buahan. Setelah puas belanja di pasar terapung, boat ini membawa kami ke
sebuah desa untuk mengunjungi pohon tua. Batang pohon ini tidak seperti
batang-batang pada pohon umumnya, batang-batang meliuk-liuk saling menyilang
membentuk pola yang rumit. Pohon ini
pernah menjadi tempat persembunyian tantara Vietnam saat beperang melawan US.
Kami mengelilingi desa ini naik sepeda.
Tur berakhir di toko oleh-oleh,
menariknya mereka menunjukkan cara membuat mi, makanan sehari-hari orang
Vietnam. Biasanya orang Vietnam makan Pha
atau Sup mi beras. Di toko ini juga saya mencoba 1 sloki wine kelapa, rasanya
kurang enak memang tapi membuat mata saya berair dan tersenyum. Dari tempat ini
kami menuju rumah makan untuk makan siang dan bergegas menuju kota Chou Doc.
Kota ini berada di perbatasan Kamboja dan Vietnam.
Hari ketiga adalah hari yang
paling saya tunggu-tunggu karena saya akan mengunjungi Taman Nasional Tra Su.Taman nasional inilah yang membuat saya memilih Vietnam selatan untuk
dijelajahi. Tra Su adalah wetland
atau tanah basah, salah satu ekosistem yang belum pernah saya kunjungi
sebelumnya. Hutan Tra Su tidak seterkenal Mekong Delta. Sebagian besar turis
akan mengambil tour 2 hari dan melewatkan the biggest show!
Saat memasuki area hutan, udara berubah
segar. Air dan pohon yang berlimpah seperti berusaha keras menyadarkan kita
bahwa mereka adalah kemewahan sejati. Di Hutan Tra Su, barisan-barisan pohon
membentuk Lorong-lorong kecil yang menawan. Airnya ditutupi ganggang-ganggang
hijau memenuhi permukaan air, persis seperti karpet dengan motif bunga-bunga
berwarna hijau. Puluhan jenis burung terbang bebas di depan mata. Boat motor
kemudian parkir di tengah hutan. Petualangan kami belum selesai. Kami kemudian
pindah menggunakan boat manual yang dikayuh oleh gadis-gadis atau ibu-ibu
Vietnam. Kami kembali dibawa melihat sisi lain hutan yang berada di tengah air,
dalam kayuhan yang lambat, keindahan masih terasa singkat. Pada bulan-bulan
tertentu ketinggian air di hutan ini bisa mencapai setengah batang pohon-pohon
tertinggi yang ada di hutan ini. Pada bulan ini Tra Su biasanya ditutup.
Hari terakhir kami menuju rumah-rumah terapung yang masih bertahan di sekitar Chou Doc. Sistem arsitekturnya sangat menarik, rumah-rumah ini mampu berdamai dengan luapan-luapan Sungai Mekong selama ratusan tahun. Walaupun demikian, jumlah rumah terapung semakin menyusut, karena generasinya lebih memilih hidup di darat, lebih mudah untuk anak-anak mereka mengakses pendidikan. Sebelum globalisme masuk, masyrakat yang hidup di atas air sangat dihormati. Sekarang banyak dari mereka yang tidak bisa mengakses Pendidikan khususnya jika air Sungai Mekong meluap. Sebagian besar anak-anak yang tinggal di atas air tidak bersekolah. Di sini saya juga bertemu dengan dua ekor anjing yang setia menunggu tuannya. Dari rumah terapung, kami kemudian menuju sebuah desa di mana Suku Cham tinggal. Cham adalah satu-satunya suku dari Vietnam yang beragama Islam. Mereka pandai membuat roti dan anyaman.
Kak, could you be a proofreader for me as I am eager to apply for CCIP, the essays displayed on ur blog was magnificent. Helpful
ReplyDeleteNow I am in Bali, my schedule is kind of full, only can do it during the weekend.
Delete