Puisi yang Harus Dibaca Lelaki
I am very bias in many
ways. I think with my heart, I often do not trust myself as a reader, as a
teacher, as a voter (especially in the election) dan satu-satunya hal yang saya cukup yakin adalah saya seorang feminist and
I’ve done background checking on it many times. It has given me rasa
percaya diri yang cukup dalam menilik puisi-puisi karya Julia.
Budaya collectivism yang tertanam khusunya di negara-negara berkembang semakin kuat saat seseorang pergi merantau. Menemukan teman seperjuangan seperti obat rindu rumah di negeri orang. Dalam kalimat “Tak peduli ada penumpang atau tidak, yang penting siang nanti musti ada biryani dan sorenya bisa minum lipton di jalan raya tak perlu sendiri-sendiri” terlihat proses penyederhaan kebahagian. Perbandingan dua dunia, proletar dan kapitalis digambarkan dalam kegiatan-kegiatan yang didasarkan atas perbedaan kelas dan ekonomi.
Catatan I
Letakkan Saja Panci Itu, Imah.
Letakkan
saja panci itu, Imah
Ambil
bedak dan berhiaslah
Tugasmu
tak semata menggosok pantat hitam
Panci
dan wajan
Itu
nanti ada waktunya
Tunda
saja mencuci pakaian dua keranjang
Nanti
aku bantu kau membilasnya
Sini,
kemarilah
Sesekali,
ganti daster itu dengan lingerie
Aku
suka melihatmu dari balik renda lembut bertali
Letakkan
saja panci itu, Imah
Dan
kemarilah
Aku telah pulang sore ini,
Padamu
Pada
rumah
Lombok, Desember
2014
Jiwa Puisi
Saat membaca paragraf pertama, saya melihat penggunaan
kata-kata di dalamnya sangat kongkrit dan receh, baik dari pilihan nama, alat,
sifat dan hal-hal yang dianggap lumrah bagi perempuan terutama dalam tatanan
budaya patriarki. Seperti panci (dapur),
daster (kasur), dan cuci (dekat
dengan sumur), tiga hal yang mendefinisakan identitas perempuan di mata
laki-laki klasik. Pilihan kata-kata yang receh ini diberi muatan kata-kata
perintah, menegaskan bahwa puisi ini adalah deskripsi perhatian dan bantuan
yang dibutuhkan seoarang istri, seorang perempuan dalam menjalani urusan rumah
tangga di mana beban diharapkan bisa dipikul bersama dan pembagian peran
dituntut untuk lebih manusiawi.
Tokoh Imah dalam puisi digambarkan terjebak dalam budaya
patriarki, hingga ia lupa dengan dirinya sendiri. Perspektif murni sebagai
perempuan dikaburkan oleh pandangan-pandangan budaya, sejarah dan rayuan
publik.
Kata asing lingerie
(baju tidur khusus perempuan), kata yang sarat makna dan satu-satunya benda mati yang digunakan untuk melambangkan feminism dalam paragraf pertama.
Lingerie menggambarkan bahwa perempuan berhak untuk diperlakukan dengan layak
dan harus dimulai dari rumah. A man gives
a woman duster, a gentleman gives a
woman lingerie.
Kata asing lingerie
dipilih mungkin karena feminism cenderung
dianggap lahir di barat dan tentu karena lebih indah dari pada daster. Nawal
Elsaadawi dalam wawancaranya menjelaskan konsep feminisme sebagai ism yang sangat universal, historis dan
tertanam (implisit/eksplisit) dalam budaya dan perjuangan perempuan di seluruh
dunia. Perempuan mesir ini juga menggaris bawahi bahwa feminisme bukan sesuatu
yang harus dipelajari, banyak perempuan menjadi seorang feminis tanpa
mempelajari apa itu feminisme (contohnya seperti imah), dan feminisme tidak
melawan laki-laki tapi sistem patriarki itu sendiri karena sekarang 40%
laki-laki muda pro feminisme. Laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi korban
sistem patriarki.
“It is historical, it
is everywhere, it is in every country, women were rebelling in all religions,
in India, in Egypt, under Hindus, under Judaism, under Christianity or Islam,
women are fighting for their rights, so we call ourselves historical, feminism
is not a western invention, feminism was not invented by American women as many
people think, no feminism is embedded in the culture, in the struggle of women
all over the world.”
“Feminism is not
something that girl or women have to study, they become a feminist without
learning feminism.”
Kemunculan kata aku
seperti sebuah kejutan. Aku di sini adalah laki-laki feminist (He for she). Laki-laki yang mengerti
perjuangan perempuan. Kata rumah dalam paragraf kedua bermakna positif. Di
seluruh dunia, bumi dan tanah feminis. Bumi berbentuk bola seperti ovum, bumi
adalah tempat di mana kehidupan lahir dan tumbuh. Bumi memiliki fungsi feminis
yang sama dengan perempuan, sebagai ibu, melahirkan dan menyusui anak-anaknya. Aku adalah imaginasi Imah atau women’s man. Laki-laki yang dibayangkan
kebanyakan istri seperti Imah adalah laki-laki di iklan-iklan pembersih kamar
mandi.
Imah is implicitly
feminist sama
seperti perempuan-perempuan Indonesia pada umumnya. Ketakutan-ketakutan
terhadap dokrin yang ditanamkan sejak kecil membuat perempuan terpaksa menerima
peran yang diberikan masyarakat kepadanya. Banyak perempuan yang merasa tidak
nyaman untuk menggunakan kata feminisme karena takut terjebak dengan pelabelan
atau istilah, bahkan Ulil Absar Abdalla sendiri, tidak ingin menggunakan kata ini
walaupun dia dengan terbuka menyatakan bahwa kesetaraan gender adalah hal yang
perlu diperjuangkan.
In short, puisi ini adalah dialektika antara
feminis dan patriarki yang berdiri sebagai lawan untuk mendekatkan dirinya pada
moral dan kebenaran.
Tubuh Puisi
Tubuh puisi ini lurus, sangat mudah dipahami dan hidup dengan
bentuk naratif dan kongkrit. Penggunaan stanza bebas dan jumlah aliterasi yang
terbatas membuat puisi ini sangat alami. Penulis seperti memiliki bakat alam,
ia berkarya tanpa memikirkan bantuan struktur.
Catatan II
Petang di Sudut Dubai (It’s terribly beautiful)
Karena
satu-satunya hiburan kita adalah minum Lipton dengan krim, di sini 1 dirham
harganya. Maka kita bawa dalam styrofoam dan menghirupnya di jalan raya dan bila
beruntung dapat khat Yemen dari kawan kerja. Tidur berimpit puluhan orang dalam
kamar 2 x 3 meter tak ideal bagi manusia, tapi untuk kecoak seperti kita, belum
lagi terus-terusan mendengar erang kawan di sebelah, menggenggam penisnya
karena rindu istri dan pacarnya di jauh sana, pejamkan saja mata dan berusaha
tidur meski hanya sejam dua.
Hidup
cukuplah mengebor jalan, memperbaiki gedung-gedung atau membangunnya, agar
Dubai dan Abu Dhabi molek bagi dunia. Tak perlu ada yang tahu, roti basi
berhari-hari untuk kita bagi. Mandor yang kuasa karena paspor di tangannya.
Bagaimana mau menebus visa dengan ancaman sepuluh tahun penjara, dan hutang di
tetangga sebelum berangkat kemarin tetap menganga.
Sama
saja, mereka yang Pathan, akan menyetir taksi-taksi putih dengan muka lebih
asam dari susu lassi. Tak peduli ada penumpang atau tidak, yang penting siang
nanti musti ada biryani dan sorenya bisa minum lipton di jalan raya tak perlu
sendiri-sendiri.
Kami
ingin pulang, tapi hutang terlampau besar. Upah hanya cukup membeli chapati
sesekali, dan harus biasa dengan lapar yang menggema. Sementara mereka akan
menonton pacuan kuda setahun sekali, dan perempuan-perempuan molek dengan topi
rumbai di kepala, kami tersuruk memunguti sampah permen karet mereka. Lumayan upahnya untuk sekerat Nan malam nanti.
Kami
ingin pulang, tapi penjara adalah rumah sendiri.
Jiwa Puisi
Unsur-unsur trinitas kebutuhan utama manusia: pangan, sandang
dan papan di mana tokoh-tokoh proletar muncul sebagai bukti dari ilusi
kemewahan yang dibangun oleh kapitalisme dan ilusi demokrasi menjadi peletak
dasar dari jiwa puisi Petang di Sudut Dubai.
Puisi ini dimulai dengan “karena” untuk menunjukkan bahwa akibat
sama pentingnya dengan sebab. Jadi panggilan-panggilan kewajiban dari proletar
kepada kapitalisme dan pembuat kebijakan untuk meregulasi kembali hak-hak buruh
migran.
Manusia diibaratkan seperti “kecoak.” Proses dihumanisai
diberikan untuk menekankan keadaan dan secara tidak langsung perlakuan yang
didapatkan. Pilihan kata “Molek” pada paragraf kedua memberikan makna negatif
pada keindaahan kota megapolitan Dubai. Molek adalah feminisme yang melawan kapitalisme
dan patriarki, satu kesatuan yang membentuk ilusi demokrasi. Dibalik
Gedung-gedung tinggi (pembangunan) jarang terdengar berita tentang kaum
proletar yang terpaksa turut membangunnya untuk melanjutkan hidup mereka.
Kompleksitas Petang di Sudut Dubai
Poros Tengah (Penulis/Pembaca)
|
||
Kutub Positif
|
Kutub Negatif
|
|
Abstrak
|
Puisi kedua membantu
saya merumuskan kebenaran yang tinggi tentang ilusi demokrasi dan hak buruh
migran yang tidak didapatkan.
|
-
|
Kongkrit
|
Kejadian-kejadian
dalam puisi bisa saya bayangkan dengan jelas karena ada dalam kenyataan.
|
|
Universal
|
Nilai-nilai universal
diwakili oleh aku dan berbagai
kata-kata asing dari bahasa-bahasa negara berkembang di Asia Selatan,
misalnya seperti Phatan atau orang-orang pastun (Orang Afganistan/Pakistan), khat,
salah satu daun herbal yang dijadikan teh, atau disebut juga teh arab/teh
afrika/teh Yaman, briyani (nasi briyani), chapati (unleavened bread) dan naan (leavened
bread), dan susu lassi.
Puisi ini memilih
kata kita bukan kami, tidak mengisolasi pembacanya, karena puisi ini mengerti
benar bahwa hampir semua manusia terjebak dalam sistem kapitalisme.
|
Tokoh aku tidak menjelaskan asal negaranya
atau sukunya secara explisit.
|
Partikular
|
Ciri khas dua
puisi-puisi ini memberikan ruang pada hal-hal kecil, kegiatan sehari-hari
seorang buruh migran atau ibu-ibu rumah tangga pada puisi pertama.
|
|
Objektif
|
Keobjektifan yang
bisa diukur terhitung jelas di mana tokoh aku menggunakan sebagian besar data
dalam puisi dari kegiatan-kegiatan
buruh migran yang ia temui dan lihat di Dubai.
|
Mengabaikan perasaan
sendiri. “Pejamkan saja mata, dan berusaha tidur meski hanya sejam dua.”
|
Subjektif
|
Suara kaum proletar
terdengar jelas dan tertindas dalam setiap paragraf. Perumahan yang tidak
layak, gaji yang tidak pantas, visa ditahan dan harus bekerja sampingan untuk
mendapatkan satu hari yang layak.
|
|
Umum
|
Sangat dekat dengan
kepentingan umum, mengingat jumlah kaum proletar jauh lebih banyak dari
jumlah kapitalis di dunia.
|
|
Puitis
|
Sisi kemanusian yang
diangkat membuat puisi menjadi lebih puitis.
|
Budaya collectivism yang tertanam khusunya di negara-negara berkembang semakin kuat saat seseorang pergi merantau. Menemukan teman seperjuangan seperti obat rindu rumah di negeri orang. Dalam kalimat “Tak peduli ada penumpang atau tidak, yang penting siang nanti musti ada biryani dan sorenya bisa minum lipton di jalan raya tak perlu sendiri-sendiri” terlihat proses penyederhaan kebahagian. Perbandingan dua dunia, proletar dan kapitalis digambarkan dalam kegiatan-kegiatan yang didasarkan atas perbedaan kelas dan ekonomi.
Puisi kedua ini ditutup dengan dua kalimat yang saling
bertentangan, tentang rindu kampung halaman namun kampung halaman adalah
“hutang menganga” dan kemiskinan yang menjadi penjara.
Tubuh Puisi
Puisi
berbentuk paragraf-paragraf besar seperti prosa. Ironi menjadi pembuka,
personifikasi digunakan untuk menambah rasa puitis seperti “kecoak seperti kita, lapar yang menggema.” Sama seperti puisi
sebelumnya, puisi ini mengalir dengan naratif yang jelas dan kongkrit. Saat
membacanya saya bisa merasakan meter,
dari kata seperti krim, dirham dan steriofom pada awal puisi.
Menarik dan mengalir...tetap ya ulil dimasukin 😄
ReplyDeleteYaaa.... lol dia ngak seliberal yg dipikirkan orang kok.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletelove this piece Zi,
ReplyDeleteOcean thanks Miss Isya
DeleteSangat menarik.. Kereen :)
ReplyDeleteMakasi Didit!!!
DeleteSangat membuka pikiran!!
ReplyDeleteAlhamdulillahhh...
DeleteYou are so feminist Ibu Zi
ReplyDeleteayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
ReplyDeletehanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^