Tentang Nama, Kepercayaan Diri dan Siapa Kita
Saya kurang suka pelajaran
sejarah, pertama karena saya take everything personally, kedua karena
menurut saya sejarah adalah ilmu yang paling offensive. Kebenaran atau kebohongan dalam sejarah dua-duanya sama,
sering menyinggung dan menyakiti satu pihak dan atau kedua belah pihak.
Walaupun demikian, bukan berarti saya sedang menyarankanmu untuk tidak belajar
sejarah. Harus kita akui, sekarang dan masa depan terasa buruk karena kita
(manusia) sering kali tidak melunasi hutang sejarah. Alasan ketiga, saya sering
menemukan sejarah adalah area yang sangat tidak netral untuk mendekatkan diri
pada kebenaran, terutama sejarah yang ditulis oleh penguasa, oleh kelompok
dominan dan tentunya oleh pemilik media besar. Alasan terakhir adalah “those who don’t study history are doomed to
repeat it. Yet those who do study are doomed to stand by helplessly while
everyone else repeat it.” Saya kutip
dari group pecinta sejarah di salah
satu sosial media saya, sampai sekarang saya masih berdoa semoga kutipan ini
tidak banyak terbukti kebenaranya.
Terlepas dari perasaan saya
terhadap sejarah, mau tidak mau, suka tidak suka, sejarah melekat pada setiap kejadian,
setiap tempat, setiap benda di bumi, baik pada benda hidup atau mati. Kita,
mereka saling terkoneksi membentuk bingkai opini dan persepsi tentang siapa
kita dan siapa mereka. Apakah saya, kamu atau mereka keturunan penjajah,
keturunan yang dijajah, keturunan penghianat, keturunan perampas, keturunan
yang dirampas, keturunan ksatria atau keturunan yang tidak menjajah dan tidak
mau menjajah? Label-label ini tentu berpengaruh terhadap mentalitas generasi suatu
bangsa.
Keturunan penjajah atau penguasa
biasanya akan melahirkan mental-mental superior, merasa menjadi keturunan yang
kuat dan bangga telah menjajah bangsa lain, namun ada juga yang merasa bersalah,
merasa bertanggung jawab atas keselahan masa lampau karena bagaimana pun juga
mereka adalah the biggest beneficiary of colonialism. Negara-negara
penjajah biasanya menjadi negara maju, sedangkankan yang terjajah disebut negara
berkembang. Mereka cenderung inferior, namun setidaknya apa yang masuk ke tubuh
mereka bukan hasil dari menjajah bangsa lain dan tanah tempat mereka tinggal
bukan tanah rampasan, mohon maaf saya tidak bermaksud menyinggung siapapun.
Sejarah mereka hampir semua ditulis oleh pemenang, budaya mereka digerus dan
indentitas mereka dicuri. Kita yang lalai secara tak sadar turut mendukungnya,
biasanya kita melakukan hal ini pada saat mengunjungi suatu tempat atau
menemukan hal yang baru. We indeed look
like a moron I bet!
Cerita nama-nama yang salah
Saat suatu benda/tempat ditemukan
atau dibuat, penemu akan menamakan benda tersebut dengan nama belakangnya untuk
secara langsung memberi tahu pengguna atau generasi selanjutnya bahwa dialah
yang membuat atau menemukan benda tersebut. Dalam membuat atau menemukan tidak
luput dari kesalah-kesalahan kecil yang bisa berdampak besar.
Kesalahan nama terjadi karena
kesusahan pengunjung atau pelancong yang datang bertamu ke suatu tempat untuk
melatih lidahnya menyebut suatu nama dengan benar. Akhirnya nama yang salah ini
tersebar luas bahkan dijadikan acuan oleh kartografer dalam menggambar dan
menulis peta. Misalnya seperti nama Bangkok yang nama sebenarnya adalah
Banhng-Gawk. Pernah membayangkan jika namamu Bangkit dipanggil Bankrut? Atau Bangkit jadi
Bangket? Hal ini juga pernah terjadi pada Lombok. Orang tua asli pulau Lombok
tidak akan mengatakan Lombok, tapi Lomboq
yang berarti lurus bukan cabai seperti yang diartikan oleh pengunjung atau
pendatang yang tinggal di Pulau Lombok.
Kesalahan paling fatal dalam
sejarah penamaan adalah nama penduduk asli Amerika. Karena Columbus mengira
Amerika adalah India jadi ia menyebut orang Amerika adalah Indian. Sialnya, nama
ini ditulis dalam seluruh buku sejarah dan diingat dunia. Jika berkunjung ke
museum-museum sejarah penduduk asli Amerika tidak ada nama Indian. Penduduk
asli pun tentu tidak akan senang jika orang asing memanggil mereka Indian. Ada
ratusan suku asli di Amerika, beberapa di antaranya Navajo, Cherokee, Sioux dan
lain-lain.
Mengapa nama tempat diganti?
Nama-nama tempat diubah biasanya karena
alasan tertentu misalnya seperti negara Yugoslavia yang mengganti namanya menjadi
Republic of Macedonia dan kemudian menjadi Republic of North Macedonia demi
menjaga perdamaian dengan negara tentangganya. Penggantian nama-nama tempat juga
merupakan praktek yang dianggap wajar oleh kolonial guna menyerang mental dan
budaya suatu bangsa yang ingin diinvansi. Misalnya sebelum Australia mejadi
Australia seperti sekarang. Setiap kota tempat Australia medirikan ibu kota
negara bagiannya memiliki nama aborigin sebelum 1788. Di antaranya Sydney yang aslinya bernama Warrang
dan Hobart yang dulunya bernama Nipaluna.
Contoh lainnya adalah Bhutan. Walaupun
Bhutan tidak berhasil dijajah oleh Inggris, orang Bhutan tidak pernah menyebut
negaranya Bhutan, jika bertemu dengan orang Bhutan biasanya mereka akan
mengklarifikasi bahwa nama mereka sebenarnya bukan Bhutan tapi Druk Yul yang
berarti tanah naga halilintar. Begitu juga dengan Iran yang tak pernah rela
dipanggil Persia karena nama Iran sendiri telah mereka gunakan lebih dari 2,000
tahun (Hambly, 2008).
Bagi semua bangsa, nama adalah
identitas bukan pemberian dari kolonial. Dalam konteks ini teori William Shakespeare tidak berlaku. Nama sangat berarti, nama adalah bagian dari
bahasa. Dari bahasa, budaya tergambar jelas. Studi sejarah bahasa dibuka untuk
mempelajari lebih dalam tentang sejarah. Untuk mengetahui asal usul suatu
tempat, nama dan maknanya selalu menjadi salah satu acuan utama yang digunakan.
Contohnya Desa Jelateng. Di Lombok terdapat beberapa desa yang namanya Jelateng.
Setelah ditelurusi, Jelateng diambil dari nama tanaman yang bisa membuat kulit
gatal namun rasa gatal bisa dihilangkan dengan menggosok akar Jelateng itu pada
bagian yang gatal. Desa lainnya adalah Bile Bante yang juga diambil dari nama
pohon, Terong Tawah dari nama tanaman, Telage Lebur yang diambil dari nama
danau kecil, Lendang Re yang artinya padang padi, Lendang Nangke artinya padang
nangka. Nama desa-desa ini menunjukkan bagaimana kedekatan penduduk Lombok
dengan alam, dengan tanaman dan menunjukkan pohon yang banyak ditemukan di desa
mereka.
Sekarang, untuk menemukan kembali
identitas asli yang telah digerus, banyak negara menggunakan nama endonim atau
nama asli tempat tersebut sesuai dengan yang diwariskan oleh nenek moyang
mereka atau menggantinya dengan nama baru yang menunjukkan identitas mereka
bukan identitas bangsa lain. Myanmar yang tidak lagi menggunakan Burma, nama
eksornimnya. Begitu juga dengan Ho Chi Minth City yang menghapus nama Saigon.
Di Lombok sendiri, penamaan dan
pergantian beberapa tempat akibat gaung pariwisata semakin sering terjadi.
Beberapa bukit diganti namanya menjadi Bukit Korea, Bukit Malang, yang terbaru
Bukit Pal Jepang. Nama-nama ini sama sekali jauh dari identitas Pulau Lombok.
Tidak hanya itu, beberapa nama desa pun diganti, seperti Desa Tunjak Polak
diganti menjadi Desa Bukit Tinggi, sama seperti nama salah satu destinasi
wisata di Sumatera Barat, Desa Lilir jadi Desa Mekarsari dan sebagainya.
Sebagai destinasi yang baik, bukankah kekhasan suatu daerah sangat penting di
mana pelancong bisa mempelajari hal dan budaya baru. Terlebih lagi penggunaan
nama asli akan membuat penduduk asli bangga pada bahasa dan budaya mereka.
Di masa depan, saya membayangkan ada banyak peta dunia yang dibuat dengan menggunakan nama-nama endonim untuk menambah pengetahuan sejarah dan memperkuat identitas suatu budaya.
Di masa depan, saya membayangkan ada banyak peta dunia yang dibuat dengan menggunakan nama-nama endonim untuk menambah pengetahuan sejarah dan memperkuat identitas suatu budaya.
Sangat setuju.....dan saya baru tau ternyata persia itu adalah 🇮🇷 iran 😁
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir di blog saya!!
DeleteDalem bangettt zi
ReplyDeleteYa ada bukit korealah, banyak bukit diganti namanya :(
ReplyDeleteagen dengan 100% player vs player hanya di IONQQ :)
ReplyDeleteWA : +855 1537 3217