Perpustakaan Tanaman dan Obsesi Baru Milenial
“Saya pecinta alam.” Saya temukan
kalimat ini benar-benar sahih pada seorang teman, ia bukan penulis, bukan
aktivis, bukan pula akademisi atau dosen environmental
studies. Ia seorang landscaper
lulusan Sastra Prancis yang menggunakan black
water treatment untuk memfilterasi air limbah dari kamar mandinya, yang
menggunakan composting Aisyah Oddist
untuk mengelola limbah dapurnya, yang baru saja memutuskan untuk berhenti
menggunakan sabun mandi, yang menjadikan tanaman sebagai teman bicara, yang
membawa wadah, toot bag dan tumblr ke mana-mana untuk menghindari plastik, yang
selalu minum tanpa sedotan, dan sangat mengerti bahwa setiap taman dan kebun
selalu membutuhkan sentuhan rewilding.
Lemarinya didominasi oleh buku-buku seperti One
Straw Revolution, Teaming Up with Microbes, Permaculture Guide Book, Edible Landscaping dan banyak
judul-judul lain yang saya tidak ingat.
Cinta Nana Fauziana kepada alam
memang dalam, bukan sebatas postingan di sosial media semata, saya tidak
bermaksud menyindirmu, saya menyindir diri saya sendiri. Saat senggang,
saya akan membantu Nana di Mandala gardennya untuk memangkas vetiver, membentuknya seperti
balon-balon bulat. Nana sadar benar, milenial adalah generasi yang diwarisi
paling banyak masalah lingkungan. Milenial tidak dibesarkan di antara
sawah-sawah yang luas, di antara hutan yang rimbun, lautan yang bersih dan
sungai-sungai yang bening, mereka lebih sering melihatnya pada layar atau pada
iklan-iklan pariwisata yang bertebaran di sosial media, koran online, termasuk
di blog saya. Tidak heran banyak di antara mereka jika berada di alam akan
mengambil puluhan foto dan membawa taman ke dalam ruangan.
Sejak tahun 2018, konten tetang
tanaman di youtube semakin ramai, menjalar ke berbagai media sosial dan menjadi
penyebab muculnya istilah plant influencer dan jungle apartment. Hal ini
membuat toko-toko yang menjual bunga dalam pot-pot cantik dengan berbagai
ukuran menjamur di berbagai kota. Pandemi Covid-19 semakin membuat tren ini
memuncak sekaligus mengubah pola pikir. Tanpa lahan atau dengan lahan terbatas
bukan lagi alasan untuk tidak menanam.
Plant influencer atau plant enthusiast
Bulan lalu saya mengikuti virtual tour seorang plant influencer yang menolak dipanggil plant influncer, ia lebih menyukai
istilah plant enthusiast karena
katanya, ia menanam untuk membuat perpustakaan tanaman, mejaga dan mengenal
tanaman, mengisi kekosongan, berbagi dengan sesama plant enthusiasts, bukan untuk jualan dan ketenaran. Perempuan yang
akrab dipanggil Sari ini terinspirasi menanam karena ingin membuktikan apakah benar
tangannya “panas” tidak cocok menanam.
“In the beginning I wanted to see if I am really not a green-thumb
person. I have this weird notion, that I wouldn’t be able to grow any plants
for I don’t have any experience about it.
But as more and more plants are successfully grown, I get rid that
notion, learned that there’s more than just a green-thumb talent!”
Sari tinggal di apartemen lantai 4
di Jakarta dan sekarang ia memiliki lebih dari 30 koleksi tanaman dengan jenis
yang berbeda. Ia ingat benar umur, nama latin dan berapa liter air yang diminum
setiap tanaman. Untuk memenuhi kebutuhan pupuk, Sari menggunakan komposter
organik yang ia panen seperti mengambil jus dari gentongnya. Ia sama sekali
tidak membutuhkan cahaya buatan untuk memenuhi kebutuhan makanan tanaman-tanamannya
karena apartemen tempat ia tinggal menghadap ke timur, jadi setiap ruangan
dijangkau oleh matahari pagi. In her mini
room, she propagates her plants as well.
“My wildest long-term goal is to grow my own edible and decorative
garden, and now I am learning the fundamental of permaculture.” Ungkapnya
setelah ia menunjukkan ficus elastica
atau pohon karet kebo yang ia letakkan di samping sofanya.
Mungkin bagi sebagian orang, keindahan
tanaman adalah hal yang utama, mereka berpose di antaranya, berfoto,
mengunduhnya ke sosial media, kemudian mendapat banyak like dan komentar positif, tapi bagi Sari, indoor gardener yang satu ini, memiliki tanaman adalah belajar
melihat hidup, fungsi di balik keindahan itu sendiri dan untuk lebih
mendekatkan diri dengan alam di tengah hiruk-pikuk modernisasi yang tidak
pernah selesai di Jakarta.
Antara pohon dan manusia
Pohon mengingatkan siapa kita, di
mana kita hidup, apa yang kita makan dan minum, unsur-unsur dalam tubuh kita,
apa yang kita hirup dan hembuskan untuk bertahan hidup.
Poet’s
Tree
Come and rest awhile with me,
And watch the way the word-web weaves
Between the shady story leaves.
The branches of the poet tree
Reach from the mountain to the sea.
So come and dream, or come and clim
Just don’t get hit by the falling rhymes.
Shel Silverstein
Kita, manusia mengembangkan
tradisi, kepercayaan, cerita rakyat, lagu, mantra, puisi, makanan dan
obat-obatan sebenarnya untuk merayakan keberadaan tanaman. Ini adalah bukti
bahwa hubungan manusia dengan tanaman bukan sekedar subyek dan obyek semata.
Hingga sekarang, masih ada orang-orang atau suku yang tinggal dan dimakamkan di
atas pohon, ada suku yang memiliki tradisi bahwa kelahiran setiap anak harus
ditandai dengan menanam satu pohon, ada yang percaya bahwa pohon adalah mahluk
hidup sakral, mereka harus ditanam, dipelihara dan dipotong dengan doa, bahkan
sekarang para milenial di kota-kota pun mulai bicara dengan tanaman, mungkin
karena kesepian.
Pengen coba jadi indoor gardener.
ReplyDelete