Ekonomi Budaya, Exploitasi atau Melindungi?
Aku sudah tahu kamu kaya, karena
pakaian yang kamu kenakan ditenun tangan, sangat eksklusif! bukan dibuat dari
mesin-mesin raksasa yang menciptakan pola secara masal. Aku juga tahu dari
lagu-lagu, tarian, puisi, dan hikayat yang kamu baca, di mana semuanya bercerita
tentang kebijaksanaan, Tuhan, penghargaan terhadap lingkungan dan hidup
sederhana. Aku juga tahu kau punya 9 mesjid kuno yang beberapa dari mereka kau
sembunyikan rapat-rapat, I have been
there. Ramuan-ramuan turun-temurun yang kamu berikan kepadaku saat aku
sakit juga secara tidak langsung bercerita tentang siapa nenek moyangmu dan
peradabanmu yang tinggi! Aku tahu kamu kaya!
Walaupun demikian, aku tidak
tahu benar apakah kamu sadar dengan kekayaan yang kamu warisi. Apakah kamu
peduli? Apakah kamu tahu bahwa nenek moyangmu meninggalkan sekitar 998 cagar
budaya? Jika kamu memang sadar dengan
apa yang kamu miliki sekarang, aku ingin tahu bagaimana caramu melindunginya?
Bagaimana cara kekayaanmu mendorong perekonomian rakyat? Bagaimana dengan bank data
kekayaan yang ingin sekali aku akses dengan sentuhan jari pada layar telpon
genggamku?
Pada Pekan Gelar Budaya NTB
Gemilang 2020 yang diadakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, aku menemukan
serpihan-serpihan jawaban dalam dua dialog budaya bersama para pakar,
pemerintah, penulis/blogger, aktivis, dosen dan mahasiswa. Dialog berlangsung hangat
walau kursi-kursi kami terpisah cukup jauh dengan masker yang harus selalu dipasang.
Cagar budaya dan tanggung jawab kita
Dialog pertama mengingatkan saya
pada rakyat Inggris yang memutuskan untuk Brexit
karena selama 30 tahun di Uni Eropa merasa tidak diuntungkan secara ekonomi
namun tetap mempertahankan bentuk negara kerajaan walaupun mereka harus membayar
pajak yang sangat tinggi untuk membiayai dana operasional istana-istana megah yang
tersebar di seluruh Inggris tak lain demi mempertahankan jembatan yang bisa menghubungkan
generasi berikutnya dengan peradaban nenek moyang mereka. Terlebih
lagi Kerajaan Inggris dan bangsawannya terbukti telah mampu melindungi rakyat selama
ribuan tahun dari musuh, tidak pernah berkhianat kepada rakyatnya sendiri.
Ada kesamaan sikap, seperti yang
dijelaskan oleh Ketua Rehabilitasi Mesjid Kuno Gunung Pujut, Badrun Nadianto, di
mana biaya pemeliharan masjid kuno ini adalah swadaya dari masyarakat sekitar. Melalui
cagar budaya, Masjid Kuno Gunung Pujut, masyarakat sekitar bisa melihat bukti
nyata peradaban nenek moyang mereka dan meraba umur Islam di Pulau Lombok. Arkeolog
NTB, Siti Sarah menambahkan bahwa cagar budaya berfungsi untuk menjelaskan
peradaban terdahulu hingga sekarang yang tentunya membantu masyarakat NTB untuk
mengenal peradabannya yang tinggi. Misalnya seperti arsitektur bagunan Gunung
Pujut yang dibagun tahan gempa, serta menjelaskan angka-angka seperti 9, 6, 4
yang mengacu pada Al-Quran dan angka 1008 Hijriah (1587 M) yang menunjukkan
tahun didirikannya masjid kuno ini. Selain itu, warisan ini turut menarik wisatawan-wisatawan
intelektual yang tertarik dengan sejarah.
Yang menjadi kekhawatiran beberapa pihak adalah adanya kemungkinan sebuah cagar budaya digusur akibat masuknya koorperasi. “Cagar budaya tidak bisa digeser, karena untuk menentukan suatu bangunan menjadi sebuah cagar budaya ada kriteria seperti terkait waktu, bentuk dan space,” ungkap Siti Sarah.
Kekayaan intelektual komunal dan warisan budaya tak benda
Banyak orang, organisasi atau negara kadang tidak bermaksud mencuri namun dituduh mencuri akibat adanya persamaan dan kemiripan. Meskipun demikian, ada yang memang sengaja melakukannya, biasanya pencuri melakukan pencurian karena mereka bukan orang berada atau karena pertahanan targetnya lemah. Salah satu negara yang punya nama buruk terkait pencurian warisan budaya tak benda adalah Malaysia. Negara yang kerap menjadi tujuan tenaga kerja Indonesia ini telah mengklaim sekitar 10 warisan budaya Indonesia, bahkan sukses mendapatkan hak paten beberapa diantaranya, misalnya Hak Paten Batik pada tahun 2009. Walaupun hak paten telah dimenangkan Malaysia, masalah batik kembali memanas pada tahun 2018 karena Miss Grand Malaysia mengenakan motif batik parang yang sudah sangat jelas milik Indonesia.
Memang banyak penelitian mengungkap
bahwa negara yang memiliki kekayaan intelektual lebih banyak jauh lebih Makmur dari
negara-negara dengan sumber daya alam melimpah namun minim sumber daya berbasis
intelektual. Pendapat ini memang ada benarnya, dan perlu ditambahkan bahwa
kecepatan atau keterlambatan suatu negara/organisa/pribadi dalam mendaftarkan
kekayaan intelektual juga berpengaruh. Perlu juga ditekankan, belum tentu
negara dengan sumber daya melimpah minim kekayaan intelektual. Misalnya seperti
Indonesia, Indonesia memiliki jumlah kekayaan intelektual yang besar,
masalahnya seringkali terletak pada kesadaran individu, organisasi, pemerintah
dan atau masalah birokrasi, sinkronisasi dan sinergi dinas terkait dalam
melakukan pendataan dan pendaftaran.
Muhammad Imran juga menambahkan
bahwa 103 kekayaan intelektual komunal tersebut bisa langsung dilihat pada
website resmi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Indonesia dan bisa didaftarkan
secara online tanpa dipungut biaya. Menurut Achmad Fairus, sebenarnya ada 201
warisan budaya tak benda NTB, tapi yang ditetapkan sebagai warisan budaya tak
benda baru sekitar 10% mengingat badan penentu hanya berlokasi di Bali. Merekalah yang menaungi wilayah NTB dan NTT. Patompo,
Ketua Komisi V DPRD NTB yang juga hadir sebagai salah satu narasumber dalam
dialog ini menegaskan kesiapan DPRD untuk membantu terkait dengan penyusunan PERDA
dan HKI NTB.
Ada banyak PR pemerintah daerah,
pemerintah pusat dan kita, masyarakat Indonesia untuk melindungi kekayaaan intelektual
komunal dan personal yang kita miliki.
Hiks, sedihnyaaa hak paten Batik malah dimiliki negara tetangga.
ReplyDeleteSemoga dengan acara dialog ini, semakin banyak kekayaan daerah yg hak patennya juga dimiliki daerah tsb.
Berat ini, baru tahu NTB punya 998 cagar budaya, makasi!!
ReplyDeleteBahas cagar budaya nggak melulu bahas untung setelah dikomersilkan melainkan tanggung jawab besar sebagai pengingat sejarah kita di masa lalu.
ReplyDeleteSaya pernah baca, tapi saya lupa sumbernya, bahwa alasan mereka berani klaim batik, karena banyak orang Jawa yang imigrasi dan menetap di sana.
ReplyDeleteTerima kasih Aldi atas tambahan informasinya :)
Delete