Presentasi Diri Perempuan dalam Kumpulan Puisi Ibuku Mengajari Bagaimana Mengisi Peluru
Untuk menyebut sebuah puisi sebagai puisi yang baik butuh
indikator dan evaluasi yang mendalam, pun penyair masih berjuang menemukan
alasan-alasan yang pantas, mengingat seni adalah hal yang omnijektif di mana objektivitas
dan subjektivitas perlu ditimbang dengan adil. Untuk menemukan apa yang dicari
dalam sebuah puisi, rasa dan metafora sering kali menjadi dua hal yang cukup
membantu untuk mendefinisikannya. Kata seorang penyair yang selalu ingin
dilupakan namanya, “puisi yang baik adalah puisi yang secara akurat mencatat
rasa.” Persis seperti puisi-puisi dalam buku Ibuku Mengajari Bagaimana Mengisi Peluru yang ditulis oleh Julia
Arungan.
Puisi-puisi dalam buku ini adalah gema, mimpi, perjuangan, pertanyaan-pertanyaan
tentang keadilan, ibu, perempuan, istri, single
parent, dalam kualitas rima yang dibangun secara alami, tidak terpaku pada
teknik-teknik penulisan sehingga navigasi pembaca dalam mengikuti arah ritme,
rima, dan ketukan membuatnya lebih mudah untuk merasakan puisi-puisi tersebut.
Tentu, rasa diletakkan menjadi dasar yang kuat dalam setiap penulisanya.
Buku ini dibuka oleh “Semacam Pengantar” atau pendahuluan (proem) berisi kisah nyata, antara dua
perempuan yang bekerja sebagai pembantu dan guru di Uni Emirat Arab. Mengetahui
seorang Indonesia, saudara sebangsa bisa bekerja di sekolah adalah sebuah
syukur yang luar biasa bagi si pembantu, rasa ia expresikan secara tersurat melalui
kalimat dan matanya yang seperti sumur penuh air. Bagi sang guru sendiri, penulis
buku ini, pertemuan mereka adalah pelajaran berharga yang mebantunya dalam merefleksikan
permasalah perempuan, kelas sosial, dan label-label yang diberikan kepada
manusia dan negara asalnya, serta pengalaman diskriminasi yang pernah ia alami karena
berasal dari Indonesia.
Beberapa pembaca mengaku menangis saat membaca buku ini,
walaupun demikian buku ini penuh dengan protes-protes atas nama kemanusian dan nilai-nilai
yang harus didukung oleh perempuan dan laki-laki.
Apakah buku ini
feminis?
Tampak dari sampul, buku ini mengusung makna-makna filosofis feminisme
dengan lantang. Walaupun judulnya ditulis dengan menggunakan huruf kecil dan melawan
kaidah kepenulisan, kegarangan dari kata-kata pilihan yang digunakan sebagai
judul rasanya tidak bisa dikurangi. Dan memang benar, dari 32 puisi yang
ditulis, lebih dari 80% menceritakan tentang perempuan, masalah perempuan, dan
perjuangannya.
Beberapa puisi dalam buku ini dianggap tidak memiliki nilai
feminisme namun jika melihat buku ini sebagai satu kesatuan, puisi-puisi yang
dianggap tidak feminis tersebut adalah pendukung yang harus ada untuk
menjadikan pesan feminisme tersebut utuh, sebab bagaimanapun patriarki yang
merupakan antitesis dari feminis lahir pertama kali sebagai akibat dari surplus. Oleh karena itu penulis dan atau
editor sengaja meletakkan puisi-puisi yang bertema kapital versus proletar atau
bertema alam pada bagian tertentu untuk memperkuat latar keadaan sosial dan keadaan
geografis dalam puisi yang meliputi beberapa tempat di dunia seperti di Timur
Tengah, Indonesia, dan Australia.
Hal ini juga digunakan untuk menunjukkan bahwa nilai feminis
bersifat universal, bukan lahir di daerah tertentu tapi dirasakan dan
diperjuangkan di seluruh benua, yang diperkuat dengan penggunaan kata-kata asing
dari berbagai bahasa seperti Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Sangsekerta,
Bahasa Aborigin, dan atau bahasa-bahasa yang digunakan oleh orang-orang
pasthun. Di anataranya iftar, khat, Madonna, Maryam, Sinta, Gangga, Marialta, baklava, Alaa, dan lain-lain.
Selain itu, tokoh perempuan dalam sebagian besar puisi-puisi
di buku ini mengemban misi dalam menyampaikan masalahnya, bagaimana perempuan berjuang
menyelesaikannya sendiri serta bagaimana mereka membantu sesamanya. Contohnya sangat
tersurat dalam beberapa potongan dari puisi-puisi di bawah ini.
Karena Bang
Aku jauh lebih suka
kau membantuku
Mengeringkan piring
yang baru kucuci
Sambil kita akan
ngobrol
Tentang tukang sayur
di sebelah yang menyebalkan
Atau membantuku
mengangkat jemuran
Tak usah malas dan sungkan, bang.
(Sajak Seorang Perempuan pada Lakinya, hal 13-18).
Bukan salahmu, Nak
Hanya saja dunia orang
dewasa terkadang pelik bukan buatan
Berputar dalam
lingkaran
Menyesakkan hingga membuat
nyaris tenggelam
Dan saat itu kau perlu
tahu
Bagaimana pikir orang dewasa bisa jatuh cinta dan kacau balau pada akhirnya.
(Ketika Nanti Kau Bertanya, hal 21-24)
Kau tahu, yem?
Ini soal adaptasi dan
mekanisme pertahanan
Semua mahluk hidup
harus punya bekal
Untuk kita, biar bisa
beli sawah lading
Karena suatu saat, kita akan pulang.
(Begini Cara kerjanya, Iyem, hal 35-38)
Dadaku rusuh
Isinya bawang merah,
sebie tandan, dan lagu-lagu subuh;
Joan Baez mengeluh dan menggaduh
(Monolog pada Dinding, hal 46)
‘Apa kau punya satu dolar? Aku belum makan siang,’ katanya sopan. Dompetmu tipis, uangmu kritis. Hanya ada lima dolar dan tujuh puluh lima sen. Cukup untuk bus pulang. Kau berikan padanya semua, dan beberapa butir apel. Tadi diskon besar di Woolies. Di negeri mereka sendiri, Kaukasia meminta-minta.
(Lima Dolar Tujuh Puluh Lima Sen dan Beberapa Butir Apel, hal 51-52)
Contoh di atas hanya segelintir saja, ada banyak tokoh-tokoh perempuan lain dalam buku ini yang harus dipelajari lebih dalam sebab mereka mengajarkan perempuan mendefinisikan dirinya sendiri melalui keberanian untuk melihat perubahan yang ingin mereka wujudkan.
Puisi-puisi dalam buku ini adalah presentasi hidup perempuan
yang tabah, lebih tabah dari Hujan di Bulan Juni, disusun dengan runtun
mengikuti alur satu kehidupan. Saat membaca puisi-puisi dalam buku ini, pembaca
akan merasa seperti istri walaupun belum menikah, mengalami pasang surut cinta
dalam bahtera rumah tangga, kemudian menjadi saksi pahit perceraian, bangun
tegak demi anak, tegar jadi pengasuh sendirian, menaiki tangga jadi perempuan
cahaya, berkelana menangkap corak hidup perempuan-perempuan migran, pengemis
Kaukasia, pengungsi dari Syiria, menemukan kembali self-love untuk dirinya dan semua pembaca.
Sedikit tentang balada,
prosa dan metaphor
Beberapa puisi ditulis dalam bentuk balada atau lagu atau
puisi panjang, misalnya seperti Sajak
Seorang Perempuan pada Lakinya dan Ketika
Nanti Kau Bertanya, yang sederhana dan mengharukan. Banyak juga puisi-puisi
dalam buku ini yang ditulis seperti prosa dalam bentuk paragraph-paragraf besar,
dan sisanya mengikuti kaidah-kaidah puisi pada umumnya. Dengan bentuk penyajian
puisi yang beragam, penulis membuat batas-batas definisi antara puisi, prosa,
dan bahkan lagu dalam balada menjadi kabur.
Dalam bermain dengan metafora, puisi-puisi ini mengaktivasi
imajinasi, memperkuat rasa, dan sosok tokoh yang ingin digmabarkan, serta
memberi gambaran kuat tentang latar suatu tempat. Pada puisi Ode untuk Maryam,
metafora dimainkan dalam menjelaskan kualitas tokoh dengan menyentuh dan apik,
seakan-akan mengatakan bahwa menua adalah sebuah privilege manusia, merupakan perjalanan untuk menjadi lebih
bijaksana.
Wajahmu, mulai
mengelupas karena usia, seperti pohon-pohon Paper Bark, yang menyisakan halus
di dalamnya. Sukma.
Metafora lainnya, pada bait ketiga dan keempat dalam puisi Kembala dari Kaurna, diadopsi dari
keadaan alam Australia beserta isinya membentuk satu-kesatuan yang memperkuat
tema dan latar puisi.
Dan tanah yang terbakar
Kembala dari Kaurna
Matanya ekalyptus dan matanya myrtus.
Puisi-puisi dalam buku ini memberikan warna kebebasan bentuk tersendiri dalam dunia perpuisian. Mengabaikan persinggungan-persinggungan definisi, dengan mengutamakan rasa dan isi menjadikan puisi-puisi ini kaya akan metafora yang solid, mudah dimengerti dan dinterpretasikan oleh pembaca.
Comments
Post a Comment