Nasionalisme Banal dan Mengapa Kita Upacara?
Semasa SD dulu, selain pelajaran
olah raga dan latihan baris-berbaris, hal yang saya tidak sukai adalah upacara
bendera sebab saya harus berdiri di bawah matahari yang terik dan berada di
barisan terdepan karena tubuh saya yang pendek. Jika lupa membawa topi tentu
saya akan berdiri di tempat yang berbeda, tempat yang tepat menghadap matahari.
Walaupun Vitamin D dari sinar matahari pagi sangat bagus untuk tulang dan imun,
tidak jarang saya melihat beberapa teman mendadak pingsan saat upacara karena
kelelahan atau belum sarapan. Dan mengapa kami (siswa) harus dijemur dan guru
berada di tempat yang teduh? It’s not fair!
Semasa SMP and SMA, upacara hanya
dilakukan 1-2 kali sebulan karena sekolah tempat saya belajar sangat fokus ke masalah
akademik. Hal ini mulai membuat saya menyukai hari Senin. Saya bisa menyimpan
tenaga, bangun tidak terlalu pagi dan lebih segar saat menhadapi pelajaran. Di
bangku kuliah upacara dihapus, mungkin karena semakin dewasa kita merasa kalut,
takut, dan atau merasa tersindir setiap kali membaca Pancasila terutama sila
kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Dalam sepuluh tahun terakhir, saya
mengikuti upacara bendera dua kali, pada tahun 2018 dan 2019. Dua upacara ini
sangat berkesan tidak hanya karena saya jarang upacara tetapi juga karena
upacara ini bukan upacara biasa. Upacara pertama, dikibarkan oleh siswa-siswi dengan
mengenakan pakaian merah putih yang mereka punya, guru-guru berambut pirang
akan hormat pada bendera dan tanah tempat mereka bekerja. Upacara ini sangat
singkat tanpa pembacaan amanat dari pembina upacara. Setelah upacara, sekolah
membuka pintu bagi anak-anak yang tinggal di desa untuk bermain dan berpesta bersama
untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia. Upacara kedua dilakukan di bawah
laut, tepatnya di Kecinan, Lombok Utara. Upacara ini membutuhkan persiapan
sekitar 4 bulan karena melibatkan penyelam-penyelam hebat dari Indonesia dan
Pulau Lombok untuk menyelam bersama teman-teman difabel. Setelah pengibaran
bawah laut usai, di darat mata-mata para pengibar berair penuh haru.
Mengapa kita upacara?
Saat melihat bendera dikibarkan,
saat mendengar lagu Indonesia Raya dinyanyikan dan UUD 1945 dibacakan dengan
lantang, apa yang kamu rasakan? Jika kamu tidak merasakan apa-apa atau malah bertanya,
bukankah ada cara lain yang lebih baik untuk menguatkan jiwa nasionalisme. Jika
kamu berpikir bahwa upacara adalah investasi
murah yang bisa menekan biaya perang, membuat pemuda-pemudi jadi boneka yang bangga
pergi berperang. Mungkin pendapatmu dan apa yang kamu rasakan juga tidak salah. Namun perlu diingat bahwa saat
kita menyaksikan Indonesia Raya dinyanyikan dan bendera dinaikkan, semuanya
baik-baik saja. Kita bukan saksi sejarah, kita tidak melihat pejuang mati ditembak,
perempuan diperkosa, rumah-rumah dibakar, ibu kehilangan anak, anak kehilangan
ibu, dan darah yang dicucurkan ayah. Kita sangat beruntung, lahir setelah
semuanya siap, we take this land for granted. And we were (are) too naïve
to fully understand these reasons.
Terlepas dari perasaan kita terhadap
upacara bendera, sebuah studi naratif di Findlandia terkait psikologi politik
dan indentitas kolektif membuktikan bahwa upacara bendera membentuk kekuatan
emosi terhadap identitas nasional karena merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Studi ini menganalisis 80 cerita mengenai pengalaman upacara bendera yang
dibagi ke dalam 3 kategori. Grup pertama adalah mereka yang menganggap upacara
tidak penting, grup kedua menyukai upacara bendera sebagai kenangan, dan grup
ketiga menganggap upacara adalah perbuatan terpuji.
Grup pertama tidak menyukai upacara
karena mereka selalu berdiri, tidak mendapatkan tugas penting dalam upacara. Dalam
tulisan, mereka cenderung mengingat cuaca saat upacara. Grup yang menyukai upacara adalah
mereka yang berhasil membangun pershabatan dalam menjalankan tugas saat upacara
bendera atau SALING BERPEGANGAN TANGAN SAAT MENATAP BENDERA DINAIKKAN. Dan grup
ketiga adalah mereka yang biasanya ditugaskankan membawa bendera. Kamu termasuk
grup pertama ya? Sama seperti saya? Anyway, saya sedang membayangkan cara orang
Finlandia upacara, romantis!
Banal nationalism dan nasionalisme
Upacara bendera, aksi menyematkan
bendera Indonesia saat naik bukit atau naik gunung, menggunkan warna merah
putih sebagai logo, dan sebagainya, sering disebut sebagai contoh dari banal
nasionalism atau nasionalisme dangkal. Konsep ini mengacu pada kegiatan
sehari-hari, benda/barang, atau hal-hal yang remeh-temeh yang membangun rasa
nasionalisme kita. Nasionalisme sehari-hari ini diperkenalkan pertama kali oleh
Michael Billig pada tahun 1995.
Menurut Billig, banal nasionalisme
sama pentingnya dengan hot nasionalisme—ideologi yang didasari
atas darah dan rasa memiliki (blood and belonging) yang dikemukakan oleh
Michael Ignatieff. Hot nasionalisme ditunjukkan oleh para pejuang dalam
mengusir penjajah atau aksi protes para demonstran dalam menuntut keadilan. Nasionalisme
banal menunjukkan bahwa manusia bisa mengadopsi identitas nasional melalui
pembelajaran yang konsisten atau mungkin tanpa pikir panjang, dilakukan secara
rutin dan secara tidak sadar membangun rasa nasionalisme itu sendiri. Konsep ini juga menegaskan bahwa orang biasa
merasakan nasionalisme dengan cara yang sederhana dalam kehidupan sehari-hari
Nasionalisme sendiri adalah
konsep baru yang berumur sekitar 400 tahun. Sebuah ideologi yang dianut oleh
semua penduduk bumi. Walaupun demikian, ism ini banyak dikritik oleh
para pemikir karena dianggap sempit dan membatasi cara pandang manusia terutama
dalam menjawab permasalahan global. Yuval
memberi contoh sederhana, seperti masalah kebersihan sungai yang mengalir di
lima negara dan bagaimana nasionalisme tidak mampun menyelesaikannya.
Negara-negara tersebut harus duduk bersama di forum international untuk mencari
solusi. Menyadari keterbatasan nasionalisme, terhitung sekitar 85 negara di
dunia mengijinkan warga negaranya memiliki dua kewarganegaraan.
Comments
Post a Comment