Menikmati Pop dan Minimalism dalam Karya Yayoi Kusama

Karya-karya seni sering tersesat pada zaman di mana mereka dilahirkan, beberapa karya harus menunggu bertahun-tahun bahkan ratusan tahun setelah sang seniman meninggal untuk ditemukan, diterima dan mendapatkan pengakuan. Beberapa karya sangat mudah ditangkap keindahannya, lahir dan langsung digandrungi oleh penikmat seni pada zamannya, bahkan beberapa karya ditunggu kelahirannya.

Photo oleh Wilia Paramitasari
Tepat pada tahun kelahiran adik pertama saya tahun 1989, karya Yoyoi Kusama dikenal dunia. Saya baru berumur kurang dari tiga tahun. Saat itu dia sedang mendapatkan beasiswa dan melakukan pamerannya di Eropa. Bagi saya pribadi, menemukan karya-karyanya mebutuhkan sekitar 27 tahun. Pertama kali menemukannya saat saya mencari video tentang Hirosi Sujimoto, seorang photographer dunia dari Jepang. Video pertama tentang Kusama yang saya tonton mengisahkan kehidupan masa kecilnya di Cina yang kelam dan bagaimana orang-orang terdekatnya menolak profesi seniman hingga akhirnya ia memutuskan untuk melarikan diri ke New York dan berjanji di puncak Empire State untuk meraih mimpinya menjadi seoarang seniman ternama. Dalam video tersebut saya jatuh cinta pada karya-karyanya. Karya-karya yang membangunkan keindahan dari keanehan, bergerak menjauhi dan melawan konsep-konsep klasik. Salah satunya adalah Obliteration Room yang memberikan kesempatan pengunjung untuk menjadi bagian dari karyanya. Sejak saat itu saya sering mencari ke mana pamerannya melanglang buana, berpetualang ke Naushima melalui youtube. Butuh sekitar 4 tahun untuk benar-benar berjodoh. Tiga kali kami saling berpapasan, saat pameran dimulai, saya harus meninggalkan kota-kota tersebut dan sebaliknya. Bulan ini, tepat sebelum dua hari penutupan pamerannya di MACAN, Jakarta seorang teman membawa saya ke museum ini dengan dua tiket bergambar bintik-bintik merah ditangannya bertuliskan “Life Is in the Heart of a Rainbow” I was in it, felt that life was in the heart of a rainbow.

Sebelum memasuki ruang utama galeri, di bagian luar labu-labu raksasa dengan warna pop menyala, warna kuning dengan bintik-bintik hitam mendominasi. Mengapa labu? Mengapa bukan buah melon atau semangka? Sambil berjalan mengantri menuju The Garden of Narcissus, pertanyaan ini tidak hilang dari kepala. Kemungkinan-kemungkinan terbesit, mungkin karena labu dekat dengan Halloween, labu bisa menjadi sayur dan buah dan karena Yayoi kusama terobsesi dengan buah ini.

Di Garden Narcissus antrian makin panjang, anak-anak remaja, tua muda ingin berfoto di taman bola-bola yang terbuat dari baja mengkilat ini. Sepertinya Kusama sudah meramalkan bahwa semakin tua bumi manusia akan semakin narsis. Kusama membuat taman ini sekitar 52 tahun yang lalu pada saat ia mengikuti Bienalle ke 33 Venezia, Italia. Bola-bola baja mengkilat, memantulkan cahaya dan wajah-wajah pengunjung.

Di sebuah pojok ruang terdapat patung Venus DeMilo yang dicat dengan pola polka dot. Beberapa lukisan yang membentuk jarring-jaring salaing terkoneksi yang seperti terbentuk dari spectrum cahaya yang tersisa saat kita menutup mata. Di beberapa dinding ruang tengah terdapat lukisan-lukisan dengan kanvas besar. Yang paling menarik perhatian saya adalah lukisan kumpulan sperma berwarna merah yang berenang di canvas putih yang mungkin ia ibaratkan sebagai sel telur di mana keduanya membentuk suatu kehidupan. Kusama is single, he doesn’t indentify herself as a feminist. Ia juga mengakui bahwa karya-karyanya dipengaruhi oleh seniman seperti Andy Warhol.

Photo oleh Wilia Paramitasari

Photo oleh Wilia Paramitasari

Dalam pameran ini ada tiga instalasi ruangan khusus yang saya masuki yaitu mirror room, infinity room dan obliteration room. Di setiap ruangan, waktu sangat dibatasi untuk menjaga keutuhan karya tersebut dan juga karena jumlah pengunjung yang tinggi. Ketiga ruangan ini membuat saya berada seperti dalam  dunia mimpi dan imaji. Warna-warna terang membentuk ilusi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Di dalam Obliteration Room, pengunjung menjadi bagian dari karya ini karena kami diberikan kesempatan untuk menempelkan lingkaran dengan berbagai ukuran pada ruangan dengan semua furniture berwarna putih. Ruangan ini terinspirasi dari masa kecilnya dan juga saat-saat di mana ia tinggal di rumah sakit jiwa selama bertahun-tahun. 

Jenius memang dekat dengan kegilaan, Kusama menangkap bentuk dan pola bukan dengan mempelajari matematika seperti manusia pada umumnya. Ia menangkap bentuk, ukuran dan formula suatu pola dengan jiwanya. During the exhibition I was kind of upset because the committee did not allow me to go inside with my mirror less. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Esai AAS: Kamu Melamar Apa atau Siapa?

Anatomi Essay Penerima Beasiswa CCIP

ESSAY REVIEW: Perempuan Penerima Tiga Beasiswa