Bersama Puisi Dalam Karantina

Sebagai seorang penulis, saya hampir tidak memikirkan salah benar suatu puisi. Saya punya kecenderungan mencari apa yang bisa saya bawa pulang dari puisi yang saya baca untuk bekal menulis selanjutnya, terlebih lagi jika saya tahu kualitas bacaan penyairnya. Sebagai pembaca, saya sering merasa bahwa puisi-puisi lebih mencintai saya ketimbang penulisnya, mungkin saya terlalu percaya diri, tidak terkecuali puisi “Jika Nanti Aku Tiba Padamu” yang menemani saya dalam karantina. 

Puisi ini ditulis oleh Dedy Hermansyah. Saya mengenalnya pertama kali pada suatu malam di sebuah café saat menemani teman saya rapat persiapan Kelas Inspirasi. Saya diharuskan bertemu dengan lelaki pecinta kucing ini karena pasti ia sudah membaca buku-buku langka yang pernah atau mungkin belum saya baca.

Puisi “Jika Nanti Aku Tiba Padamu” tidak membuat saya lelah mendaki makna kata-kata namun mempertanyakan diri tentang masalah yang dihadapi generasi milenial—generasi sedih yang setiap hari memamerkan foto-foto bahagia. Puisi ini juga menyulut banyak pertanyaan. Apa benar pergi adalah cara terbaik mencari jati diri? Apakah meninggalkan cinta merupakan hal yang benar? Bisakah kita menemukan petualangan dalam seseorang? Apakah pejalan adalah mereka yang kesepian, mereka yang bingung di mana rumah dan keteduhan?

Dalam perjalanan melewati kata demi kata pada bait pertama dan kedua, saya mememukan “Aku” dalam rindu yang tidak sabar ingin pulang, membayangkan cinta yang ia tinggalkan disertai dengan kekhawatiran. Mendaki bait ketiga, “Aku” menemukan bagaimana gambar dan kisah riang menipiskan perbedaan antara kesepian dan kebahagian. Bait ini juga mengingatkan saya pada Hobbit, mahluk fiksi dalam karya J.J.R Tolkien yang digambarkan sebagai mahluk yang lebih menghargai makanan, lagu, keluarga dan kembang api dari pada emas dan kekuasaan. Mereka juga jarang digambarkan sebagai bangsa yang suka berpetualang.


Jika Nanti Aku Tiba Padamu

jika nanti aku tiba padamu
beranjaklah dari perapian
aku punya bara hangat di dada
aku pikir akan cukup menyalakan kedua
matamu yang lama redup

katakan padaku berapa lama sudah
tanganmu beku dan dingin. berapa
musim yang terlewati, yang merenggangkan
kulit pipimu dan menambah
garis-garis sedih di keningmu

aku meninggalkanmu setelah tergoda
peta dan globe di meja kamar, serta riang-riang
kisah perjalanan dan petualangan
yang terhampar di buku para pejalan
yang barangkali kesepian atau benar-benar
mencintai alam

jika nanti aku tiba padamu
aku ingin kau genggam jari-jari tanganku
yang pucat dan hitam. bertingkahlah
seolah-olah kau ibuku yang mendengar
cerita perjalanan pulangku dari sekolah
yang sesungguhnya tak jauh
dari rumah

jika nanti aku tiba padamu
bisikkan namamu lagi di telingaku. sebab di gelap
dan terang jalanan yang aku susuri, aku semata
ego yang berambisi mengenal diri sendiri.

Pada bait ke empat, “Aku” meberikan pengakuan melalui metafora “jari-jari tanganku yang pucat dan hitam” untuk menjelaskan apa yang dilakukan perjalanan padanya, “bertingkahlah seolah-olah kau ibuku yang mendengar/cerita perjalanan pulangku dari sekolah/yang sesungguhnya tak jauh,” mewakili permohonan maaf dan bagaimana waktu dan jarak telah memberitahunya bahwa apa yang ia cari ada di dekatnya. Yang menarik dalam bait ini adalah kepiawaian penulis dalam membandingkan jarak dengan menggunakan jarak sekolah dan rumah untuk mengimbangi penggunaan kata peta dan globe pada bait sebelumnya. Bait terakhir diwarnai dengan harapan berisi romantika bahagia dan pengakuan tanpa metafora. “Aku” sebagai manusia mempunyai ego untuk mencari siapa diri.  Bait penutup ini membuat pembaca seperti saya tersenyum bahagia sambil mengingat nama lelaki yang berada jauh di seberang.

Perjalanan membaca puisi ini juga memperkenalkan saya pada tubuh puisi yang cukup bebas, terdapat beberapa rima namun tidak begitu mengikat sehingga puisi mengalir lepas, membebaskan “Aku” untuk pergi mencari diri dan menemukan hal yang paling ia rindukan melalui jarak. Puisi ini membuat pembaca “berpikir” bebas terutama kaum pejalan untuk kembali membaca apa dan di mana tujuan itu. Ke mana, mengapa, bagaimana, apa dan kapan harus dimasukkan ke dalam pertimbangan sebelum memulai suatu perjalanan.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Esai AAS: Kamu Melamar Apa atau Siapa?

Anatomi Essay Penerima Beasiswa CCIP

ESSAY REVIEW: Perempuan Penerima Tiga Beasiswa