Book Review: Surat-surat Lenin Endrou, Lanskap Mental dan Perilaku Modernitas

 

Melalui Surat-surat Lenin Endrou, Dwi-Asmara memberi ruang untuk mengeksplorasi berbagai emosi dalam halaman. Konflik manusia dengan diri mereka sendiri, dengan bumi (hewan dan tumbuhan) dan dengan sesama spesies mereka disajikan dalam lanskap mental dan perilaku modernitas di mana keadaan seperti kelainan, kesepian, cinta, depresi, ketakukan dan kematiaan dalam latar kehidupan urban menjadi tema besar yang membuat kita mempertanyakan perliaku-perilaku modernitas baik sebagai pembaca, sebagai penulis dan sebagai bagian dari modernitas itu sendiri.

 Buku ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pertama di mana setiap cerpen terkoneksi satu sama lain. Bagian pertama lebih terasa seperti novel walupun setiap bab bisa berdiri sebagai cerpen seutuhnya. Sendangkan pada bagian dua, masing-masing bab jelas berdiri sendiri sebagai cerita pendek.

Reading as a writer

Jika saya tidak diberitahu atau membaca biography penulis buku ini, saya pasti mengira buku ini ditulis oleh seseorang yang lahir dan dibesarkan di kota-kota besar seperti NY, Tokyo atau Chicago. Penulis-penulis hebat biasanya menulis dengan intuitive dan atau hasil dari intellectual act yang kuat. Karena Dwi-Asmara menghabiskan sebagian besar hidupnya di Lombok, dan Lombok belum memasuki era pandemi kesepian seperti tiga kota yang saya sebutkan sebelumnya, saya merasa tulisan-tulisannya lebih didominasi oleh intellectual act. However, bisa jadi asumsi SAYA SALAH, mungkin malah sebaliknya atau 50:50.  

Terlepas dari kebingungan saya apakah karya-karyanya lebih didominasi oleh intuitive feeling atau intellectual act, tehnik-tehnik naratif yang digunakan sangat kuat. Kekuatan yang paling saya rasakan adalah pada character presentation, setting, penggunaan metafora, cara suatu cerita dibuka dan ditutup serta permainan alur yang bervariasi.

Ada banyak bab yang penyajian tokohnya sangat indirect, interpretation by another character. Contohnya pada cerpen pertama, semua sudut pandang berasal dari satu tokoh, dari partner Veronika. Pada cerpen Di Pertengahan Bulan April (77-82), di halaman 81 Veronica dijelaskan melalui tokoh “Aku”. Pada Tiga Fragment Sebelum Hujan, Alisia dan Bayangan Kematian, Di Mana Kau Berada Pada Pukul Tiga Pagi, Matahari Telah Mati dan lain-lain. Teknik ini sangat disukai oleh Murakami dalam menuliskan ceria-cerita pendeknya dengan sedikit sentuhan penggambaran tokoh secara langsung seperti dialogue. Pada bab kedua dan beberapa bab lainnya ada penggambaran penokohan secara langsung seperti melalui dialog singkat juga dilakukan oleh Dwi-Asmara. Penyajian tokoh secara langsung juga dilakukan melalui soliloquy (see pg.132, kalimat terakhir). 

Penyajian landskap mental tokoh-tokoh dalam buku ini sangat kompleks. saya bisa melihat inner contradiction, bagaimana konsistensi dan inkonsistensi ingatan suatu tokoh tersebut pada puncak dilema. Misalnya seperti tokoh Lenin dan tokoh “Aku” yang tidak disebutkan namanya pada bab 2. Selanjutnya dalam Organisme Super, “aku” merasa takut terhadap Lenin yang sebenarnya ada dalam imaginasinya sendiri. Apa yang dilihat dalam cermin adalah ketakutannya sendiri yang mencoba membunuhnya (pg.54). Ini mengingatkan saya pada satu adegan di film Black Swan-Tokoh perempuan yang terobsesi memerankan Black Swan. Dalam imaginasinya, ia membunuh saingannya, namun pada kenyataannya, ia membunuh dirinya sendiri.

Siapa yang antagonist dan protagonist? Sebagian besar tokoh dalam cerita ini digambarkan abu-abu, seperti manusia pada umumnya. Manusia mempunyai kodrat dua sisi: Angelic and demonic sides. Setiap tokoh mempunyai alasan untuk membenarkan tindakannya. Untuk mengerti watak dari tokoh-tokoh lebih dalam, pada bagian pertama saya membuat rincian siapa mereka.

Pada bagian satu, bab-bab awal (Surat-surat Lenin Endrou, Asomatognosis, Organisme Super, Journal Mimpi) adalah climax. Anti-climax terdapat pada bagian akhir, misalnya seperti bab Rencana Akhir Pekan, La Vita e Viaggio dan Di Pertengahan Bulan April menguak ternyata Lenin dan Veronika pernah menikah, (pg.77-81). Kemudian dua bab berikutnya menjelaskan siapa dan bagaimana latar belakang tokoh Veronica. La Vita e Viaggio (pg. 65-76) bercerita secara penuh tentang tokoh degan suara pasrah terhadap kehidupan, cerita berawal dengan definisi hidup “Hidup adalah Perjalanan” dan berakhir dengan definisi yang sama. Pengaturan bab-babnya membuatnya terasa seperti satu novel yang utuh walaupun jelas diterangkan ini adalah cerpen, dan dijelaskan pula kapan cerpen-cerpen ini diterbitkan. Susunan yang sangat rapi!!

Dalam pembukaan beberapa cerita, penulis memilih membukanya dengan misteri, seperti yang dilakukan pada cerpen “Surat-surat Lenin Endrou.” Teknik ini meciptakan sensasi kumpulan klimaks yang membuat pembaca bergairah untuk melanjutkan bacaan. Sedangkan, dalam pembukaan Journal Mimpi, Di Pertengahan Bulan April, Tiga Fragmen Sebelum Hujan, Jalan Menuju Roma menggunakan Teknik penjelasan latar yang sama. Pada paragraf pertama, narator membuka cerita dengan seting yang terkait berbagai hal atau kejadian di sekitarnya, mulai dari berita di TV, musim saat itu, pohon di sekitarnya hingga prilaku hewan dan sebagainya. Khaled Hosseini’s Thousands Splendid Suns, banyak menggunakan tehnik penulisan latar seperti ini dalam membuka cerita. Detail-detail significan dalam menjelaskan latar sangat kuat, berhasil mebawa suasana dan budaya ke dalamnya tanpa harus menyebutkan nama-nama kota itu sendiri. Hanya ada satu kota yang jelas disebut sebagai latar yaitu Kota Roma, mengingat kota ini adalah satu-satunya kota yang masuk dalam ungkapan “banyak jalan menuju Roma”.

Selain itu, Asmara sangat piawai dalam bermain kata dan menggunakan metafora, ia berhasil menjadikan kalimat, metafora sebagai alat untuk kongkritisasi, dramatisasi dan romantisasi. Contohnya: 1) Kau mengutukku karena kebaikan hati yang kumiliki (pg.20). 2) Rambutnya menjuntai bagai benang sari yang mengikat nasib para bayi yang belum menemukan pintu masuk ke dunia (pg.27) 3) Kematian akan mengobati semua lukamu (pg.37). 4) Semua orang menggunakan topeng, Veronica (pg.96). Variasi plot yang digunakan menarik untuk dikaji, beberapa berjalan maju, membaginya ke dalam fragment-fragment yang berurutan, beberapa cukup twisty dengan jenis teknik flashback yang digunakan (saya merasa seperti menonton film), membuat saya harus berhati-hati juga dalam membacanya.

Reading as a reader 

Sebagai pembaca saya bertanya-tanya mengapa buku ini tidak memiliki pembukaan. Apakah penulis sengaja karena mungkin ia berpikir bahwa sebagian besar pembaca akan mengabaikan bagian intro dan langsung menyelam ke dalam karyanya. Alasan kedua, mungkin penulis ingin membuat pembaca yang selalu membaca pembukaan lebih penasaran. Alasan ketiga, mungkin penulis menganggap bahwa karya dan apa yang terjadi dalam karya-karyanya lebih penting dari siapa penulis itu sendiri dan orang-orang dibaliknya. Bagi saya, pembukaan adalah jendela kecil yang sangat membantu untuk mengenal penulis lebih dekat, melihat bagaimana ia di dalam non-fiksi berbicara, walaupun hanya sehalaman atau dua, indeed it helps.

 Pada halaman pertama buku ini, bau modernitas tercium kuat bahkan pada kalimat pertama, kata umur pernikahan tidak digunakan. Narator memilih “Lima tahun bersama” untuk mempertegas perilaku modernitas pasangan-pasangan yang sering saya temui di negeri-negeri yang biasa disebut negara maju, developed countries di mana loyalitas pasangan tidak perlu diikat secara agama atau hukum negara. Kata kunci seperti rutinitas, kereta dan bus, memperkuat latar kehidupan kota. Rutinitas dalam hal ini sebagai lambang distorsi diri manusia, yang memaksa manusia untuk berevolusi menjadi lebih individual, menurunkan kadar hakikatnya sebagai mahluk sosial, kemudian kereta lambang jarak yang menjauhkan manusia dari suara alam. Muncul pula senyuman yang sering digunakan seseorang untuk memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja atau tak ada yang disembunyikan.


Dalam beberapa bab, beberapa penyakit yang berkaitan dengan masalah otak dan genetik sangat mengisolasi mental. Menempatkannya pada tempat “Siapapun tidak mengerti,” seperti tokoh “aku” penderita asomatognosia yang tidak bisa membagi masalahnya pada siapa-siapa. Untuk membuat pembaca lebih mengerti penyakit-penyakit ini, penulis memunculkan gejala dan akibat-akibatnya misalanya seperti gangguan tidur, pil-pil yang tidak pernah didengar namanya dan harus diberikan. Jumlah tokoh yang sangat minimalis juga bisa dilihat bahwa penulis mempertegas tidak ada budaya jenguk dalam latarnya. Jika diperhatikan, saya juga kesulitan mencari kata Tuhan. Sepi dan asing dijadikan kawan. Lantas, rahasia, keluh kesah kita bagi pada siapa? Lenin membaginya kepada Veronica, perempuan yang pernah mengisi hidupnya. Walaupun demikian ia selalu mengawali suratnya dengan kata “Nona” seakan-akan Veronica adalah orang asing yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Tokoh Veronica aktif menulis, mengapa? Saya yakin penulis menampilkan ini karena secara pribadi ingin menunjukkan bahwa proses menulis itu sepi dan karena kesepian. Seperti yang dilakukan Veronica. Ada “painful solitude” yang Veronica bagi melalui tulisannya pada dunia karena orang-orang di sekitarnya tidak mau atau terganggu mendengarnya. Menulis adalah seni balas dendam kepada orang-orang yang terlalu sibuk untuk mendengar permasalahan yang kita hadapi, both individually and collectively. Menulis adalah budaya urban, bukan hal yang sakral!

Prilaku modernitas lainnya tergambar dalam konsep cinta yang ditawarkan, sangat universal, di mana cinta bahkan tidak memandang jenis kelamin. Penulis tidak menjelaskan gender “Aku” namun memberikan beberapa kode seperti Mardi gra atau melalui kebingungan tokoh dalam mengidentifikasi gender itu sendiri (see pg. 135, paragraf terakhir). #sastraLGBTQ

This book is beautifully depressing, setiap bab sangat dramatis dan tragis, beberapa judul bahkan menyatakan langsung konflik mental yang dihadapi contohnya Asomatognosis, Gangguan Tidur, Alisia dan Bayangan Kematian, Matahari Telah Mati. This book also indeed glorifies suicide and euthanasia. They both are ethical based on the characters’ viewpoints. Hampir pada semua bab selalu ada kematian bahkan dalam mimpipun ada tokoh yang mati dan tubuhnya dimakan anjing. Kematian menjadi cita-cita, menjadi bagian dari penyelesaian masalah. Walaupun demikian, saya merasa ada simbol-simbol yang secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa manusia rindu diri mereka yang dulu. Misalnya dalam bab pertama penulis menggunakan surat sebagai media bukan elektronik email. Surat sengaja digunakan, sebagai bahasa bahwa manusia rindu kehangatan, keterbukaan untuk mengatakan “I got a problem, I need shoulders to lean on.” Dan akhirnya, kata “Tuhan” muncul, saya menemukan “Tuhan” pada halaman 144 di mana tokoh sangat apatis dan synical terhadap doa-doanya, but still ada harapan yang tipis dihatinya.

Dengan ini saya menyalahkan hasil dari pendidikan “mandiri” di mana kepercayaan ditiadakan dan tentu kapitalisasi di semua lini kehidupan kita, khususnya di barat. Terlepas dari dampak positif, anak-anak yang merupakan produk dari pendidikan barat cenderung menantang diri mereka untuk menopang beban kesepian sendiri, yang sering kali berujung bunuh diri atau mengalami penyakit mental. Usaha-usaha yang dilakukan di beberapa negara: human library, Minister of Loneliness, pandemi kesepian).

Buku ini juga menekankan bahwa mereka yang sukses dan punya karir cemerlang, orang-orang biasa, perempuan, petani, kaum proletar, peasants, bumi dan hewan adalah korban kapitalisme dan patriarki. #ecofeminism

Salah satu bagian yang saya suka pg.132 (Man and nature fight)

Ketika angin bulan Desember berembus ganas dan menakutkan seakan membangunkan sesuatu yang telah lama tertidur dalam tubuh alam, daun-daun terlepas dari tangkainya, buah-buah rontok dan memar membentur tanah, beberapa pohon tak sanggup berpegang lebih kuat lagi, akar-akar mereka terlampau dangkal untuk menahan bobot tubuh di atas permukaan dan mereka tumbang, jatuh di atas para pejalan kaki. Beberapa di antaranya selamat, beberapa kehilangan harapan, koran lokal beramai-ramai memberitakan bencana ini hingga pohon terlihat menakutkan bagi kebanyakan orang. Mereka berlomba-lomba memangkas cabang-cabang pohon yang masih hijau dan kuat, memandang curiga pada pohon tetangga yang masih hijau dan kokoh.”Mereka berusaha mengatasi ketakutan pada diri mereka sendiri,” Kata Alisia sambil menggelengkan kepala dengan gemas dan menggerutu karena membaca berita dalam surat kabar. Ia terlihat kesal dan berbicara dengan nada tinggi pada dirinya sendiri. “Mereka berusaha menyelamatkan hidup mereka dari kecelakaan akibat pohon-pohon tumbang itu, kau tahu? Menurutku bukan pohon itu masalahnya, tapi merekalah masalah itu, ketakutan mereka akan hal buruk, ketakutan mereka akan kematian.” 

Di masa depan, mungkin akan ada masa di mana manusia akan jauh lebih peduli kepada hewan dan bumi dari pada spesies mereka sendiri karena manusia, kita, semakin sadar bahwa kita bukan wakil Tuhan di bumi tapi seperti benalu yang menghacurkan inangnya (minus real indigenous people/orang rimba).

Additional Comments

Selain melihat The Beatles dengan jelas, ada empat penulis yang terbayang saat membaca buku ini. Those are Jostein Gaarder, Frans Kafka, Murakami and Oscar Wilde.

Dalam cerita, Lenin bermimpi berubah menjadi hewan. Hewan muncul untuk memperkuat karakter yang ada dalam diri tokoh. Hal ini sangat khas pada beberapa penulis misalnya seperti pada tulisan-tulisan Joestein Gaarder dan Frans Kafka. Isu yang diangkat seperti bunuh diri, mental health, gema LGBTQ dan etc adalah perilaku-perilaku modernitas yang sering menjadi tema besar dalam tulisan Murakami. Terkait dengan lukisan, ada adegan (pg.46) mengingatkan saya pada Picture of Dorian Gray karya Oscar Wilde. Saya sangat penasaran dengan kematian Ayahnya Lenin. Tikus-tikus mengingatkan saya pada cerpen Seno Gumiro Ajidarma, “Sepotong Senja Untuk Pacarku”.

Rekomendasi

Ada banyak hal yang bisa digali dalam karya Dwi-Asmara. Untuk future book celebration akan lebih baik memiliki dua atau tiga penilik yang berbicara tentang elemen-elemen yang berbeda. Misalnya ada yang berbicara tentang Character presentation (methods of character presentation, tujuan dari tokoh itu sendiri, complexity, changes), Setting (place and atmosphere, place and character, place and emotion and etc). Metaphor, satire and etc. Tentang Penggunaan lagu atau lukisan pada cerpen-cerpennya misalnya penggunaan lukisan pada cerpen “Di Mana Kau Berada Pada Pukul Tiga Pagi.” Tersirat pertentangan classic dan post-impressionism art/modernism, dan komplikasi modernism/post-modernism itu sendiri dalam tokoh, konflik yang ada dalam cerpen, tentang xemiotika hewan (anjing, tikus, gagak and dsb) dalam buku ini atau tentang “Aku,” Gender Bias and LGBTQ. Nilai-nilai Eco-feminism.

Pertanyaan untuk Penulis?

 Do you think this world is getting better or getting worse? Why your writing sangat tragic, have you ever thought about having happy ending cerpen, satu atau dua cerpen yang bisa membuat pembaca yang depresi bahagia, mengingat buku punya ruh juga sebagai sebenar-benarnya tempat pelarian? Seperti Samsa in Love dari Haruki Murakami berakhir bahagia. Apakah lukisan yang digunakan pada cerpen “Di Mana Kau Berada Pada Pukul Tiga Pagi adalah A Sunday on La Grande Jatte—1884, oil on canvas by Georges Seurat, 1884–86; in the Art Institute of Chicago?

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Esai AAS: Kamu Melamar Apa atau Siapa?

Anatomi Essay Penerima Beasiswa CCIP

ESSAY REVIEW: Perempuan Penerima Tiga Beasiswa