Ruang untuk Karyamu Di mana?


Bulan lalu saya mengikuti Literary Festival yang diadakan oleh Gramedia secara online, di mana editor, penulis dan penikmat sastra berkumpul guna mendengar diskusi dari penulis-penulis terbaik Indonesia. Sesi yang saya ikuti diempu oleh Eka Kurniawan penulis Man Tiger. Hal yang menjadi topik dasar dalam diskusi ini adalah bagaimana sastra Indonesia bisa mendapatkan ruang dalam sastra global bukan sastra dunia. Menurut Eka, istilah sastra dunia kurang adil mengingat untuk memasukkan suatu karya ke dalam kategori sastra dunia tidak melalui seleksi yang berstandar seperti sepak bola atau seperti kompetisi-kompetisi lainnya. Karya dihasilkan bisa jadi saat penulis mabuk atau saat penulis sedang setengah sadar. Tidak ada aturan bermain yang sama. Bagaimana bisa menentukan juara sastra dunia?

In fact, however, ada seleksi dan filter yang bias dan bukan merupakan ruang bersama karena dominasi bahasa tertentu seperti Bahasa Inggris misalnya. Bagaimana denga sastra-sastra yang tidak ditulis dalam Bahasa Inggris, bagaimana mereka harus mencari ruangnya di dunia global?

Mencari penerjemah dan mendorong hubungan bilateral dua negara dalam bidang ini di mana kedua negara tidak perlu menerjemahkan karya-karya anak bangsa ke dalam Bahasa Inggris tapi langsung menerjemahkan karya-karya tersebut ke dalam bahasa dua negara adalah dua hal yang bisa dilakukan. Sastra sangat terkungkung oleh geografi, oleh bahasa yang digunakan dalam penulisan sastra itu sendiri dan tentunya oleh pasar!



Puisi-puisi yang Tidak Terbit

Tidak semua karya bisa menemukan ruang di mana pembaca menengadahkan tangannya, bahkan banyak karya memang tidak punya tempat dan hanya tersimpan dalam buku catatan penulis selamanya atau digeletakkan begitu saja oleh editor dalam folder-folder mereka , (1) mungkin karena puisi-puisi itu dianggap tidak layak dibaca, (2) mungkin karena puisi-puisi itu tidak sesuai dengan selera editor atau (3) karena memang puisi tersebut sangat inklusif, hanya sedikit pembaca yang bisa relate terhapad puisi tersebut, dengan kata lain, puisi-puisi itu tidak sesuai dengan trend dan permintaan pasar, (4) dan bisa jadi karena editor terpaksa tidak memasukkannya lantaran tidak sesuai dengan ideologi penerbit. Ada banyak kemungkinan dan penulis sering kali meraba, mereka masuk ke salah satu, salah dua atau salah tiga dari mereka. 

Oleh karena itu, saya dengan sengaja memohon kepada teman-teman penulis yang saya kenal, untuk mengirimkan puisi-puisi mereka yang ditolak oleh editor. Banyak puisi-puisi indah mereka tidak menemukan ruang, puisi-puisi itu ditulis oleh hati, hasil renungan dan benturan airmata kesedihan dan tawa kehidupan. Puisi pertama dari Julia Arungan. Walapun telah terbit di berbagai antologi sastra terkemuka di Indonesia, Julia sadar bahwa apa yang dipilih editor sangat disesuaikan dengan masalah-masalah yang dihadapi di Indonesia atau tema-tema tertentu yang memang menjadi trend.

Malam itu Di Bilik Bambu

Larilah! Lari yang jauh. Sebab tak pantas rantai membelit kaki.

Ketika kau dara, lalu putri dan istri. Kita kayuh dayung-dayung kayu. Robohkan saja sekat-sekat itu. Melompatlah! Berjingkrak dan berseru. Kau tak perlu singgasana. Untuk lepas jadi sahaya

Tampar saja mahkota dan para raja. Lagipula hidup lebih baik tanpa mereka. Ambil gaun ungumu! Kita rayakan sayap-sayap yang tumbuh malam tadi. Kepakkan dan terbang!

Karena kitalah empu segala penjuru.

Lombok, 2014

Puisi kedua dari Gilang Sakti yang juga merupakan pendiri Toko Buku Klandestin. Dalam mempelajari puisi, Gilang tidak hanya menggali makna, struktur, bentuk suatu puisi tetapi juga membacanya berulang-ulang, hingga puisi-puisi itu ia hafal benar di luar kepala. Dalam karyanya ia meramu hal-hal sederhana seperti televisi, program, dan hal-hal di sekitar kita menjadi puisi-puisi singkat yang membuat kita berpikir, bertanya dan tahu diri.  Walaupun terbilang muda, karya-karyanya sudah banyak terbit di kanal-kanal online sastra.

            Program

            Di puskesmas

            kursi meminjam tidur, di ruang tunggu

            seluruh insan

            tak berani menatap bayangannya sendiri.

            Program beroperasi,

            Dalam komputer yang lupa data.

            Angka-angka mati,

            Tukang siar berita duka

            berjalan mundur

            sebelum perang

            menghadapi suaranya sendiri.

               

            Mataram 2020

               

Puisi ketiga dari Wahyu, seorang seniman panto atau pantomime yang mendapat pendidikan menulis puisi di Akar Pohon yang juga belajar Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Mataram.  Karya-karya Wahyu banyak didominasi oleh perjalanan moment-moment sehari-hari dan tahunan seperti makan malam, ziarah, percakapan sebelum tidur dan berita-berita duka yang ia baca dan dengar. Puisi-puisinya akan mengingatkan kita untuk merayakan hidup dan mengingat kematian secukupnya.

Kabar dari Palu

lembar-lembar kabar, koran beterbangan

di kelam ingatan

           buih-buih laut, geram menghantam

mobil, rumah-rumah

ke sisi-sisi gang

 

air mata tumpah

jadi abadi.

 

Mataram, 2018


Ada banyak puisi-puisi indah yang tidak tebit, mungkin jutaan dan sebagai pembaca yang baik, saya masih terus mencari-cari di mana mereka bersembunyi. Mungkin salah satu di antaranya adalah puisi-puisimu yang kau bacakan hanya untuk hujan dan dirimu sendiri!

Pertanyaan-pertanyaan untuk direnungkan

Menulis esei ini akhirnya membawa saya pada pertanyaan-pertanyaan baru yang bisa menjadi pertimbangan-pertimbangan kita untuk menemukan ruang karya-karya kita dan untuk siapa sebenernya karya kita ditujukan, untuk pembaca atau hanya untuk dirimu sendiri.  

Pertanyaan pertama, dengan kondisi sastra kita dan keterbatasan geografis dan bahasa itu sendiri, kapan kira-kira kita atau Indonesia bisa menemukan ruang bagi karya kita, baik di ruang dalam negeri sendiri sendiri atau secara global? Ini mengingatkan saya pada anyak penulis yang karyanya sukses jauh setelah kematiannya. Karya-karya mereka terkenal justru setelah dimasukkan jadi public domain.

Pertanyaan kedua, haruskah penulis menulis sesuai pasar, dengan bahasa yang mendominasi atau dengan Bahasa Inggris untuk mendapat ruang yang lebih luas?

Pertanyaan ketiga, bagaimana dengan tema, banyak penulis yang mengangkat cerita tentang 1965 karena hal tersebut laku di pasar global? Atau apakah penulis harus menulis saja, tanpa peduli apa yang diinginkan pasar dan atau penerbit?

Comments

  1. Akhirnya ngobrol lebih deket ma Eka Kurniawan!!

    ReplyDelete
  2. Sebuah tulisan walaupun ndak terkenal & ndak banyak yang baca akan tetep punya nilainya sendiri.
    Menurut saya penulis yang baik dak akan fokus mikir tentang selera pasar kecuali emang nulisnya pesanan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Esai AAS: Kamu Melamar Apa atau Siapa?

Anatomi Essay Penerima Beasiswa CCIP

ESSAY REVIEW: Perempuan Penerima Tiga Beasiswa