Benteng Amsterdam: Ini Bukan Di Belanda Ini Di Ambon, Maluku
"Sejarahku dan sejarahmu milik kita bukan milik mereka yang berkuasa"
Menginjakkan kaki di Ambon, Maluku, bau yang tercium pertama kali bukan bau rempah-rempah yang membuatnya ternama dalam sejarah, tapi bau sejarah, bau masa lalu yang terekam. Maluku terdiri dari ratusan pulau-pulau kecil yang indah dan melankolis karena menjadi latar sejarah buram penjajahan dan politik Indonesia. Walaupun berada di Pulau Ambon, pikiran saya tidak sepenuhnya berada di tempat ini, saya malah memikirkan pulau lainnya yang juga berada di propinsi ini. Saya membacanya dalam buku Nathaniel’s Nutmeg, sebuah buku yang berisi kumpulan catatan-catatan kapten yang berlayar di Nusantara dan berbagai belahan dunia. Pulau Banda Naira diceritakan ditukar dengan Manhattan, New York (Sekarang) atau dulunya bernama New Amsterdam. Pulau Banda Naira ditukar oleh Inggris kepada Belanda. Pertukaran inilah yang menjadi salah satu penyebab Indonesia dijatuh ke tangan Belanda.
Untuk mengisi waktu
satu setengah jam menuju Benteng Amsterdam saya berbica dengan sopir berwajah
khas Indonesia Timur bernama Abdul tentang Banda Naira. Pak Abdul bercerita
tentang pulau ini dengan antusias. Kalau naik pesawat ke Pulau ini memakan
waktu 30 menit dari Ambon. Ia menyebutkan tentang 40 penduduk asli Banda Naira
yang terbunuh dan melarikan diri saat pulau itu diduduki secara paksa. Di
tengah jalan saya memintanya berhenti beberapa kali untuk mengambil photo pala
yang dijemur di jalan. Di Maluku pala dijadikan minyak, harganya cukup mahal,
sebotol minyak pala harganya mencapai Rp. 500.000.
Tidak terasa mobil kami
sampai di Desa Hila, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Dari tempat
parkiran saya melihat seoarng guide yang siap memandu dan memeberikan informasi
sejarah benteng ini. Setelah m enandatangani buku tamu, saya berdiri tepat di
depan papan beton bertuliskan Benteng Amsterdam, dengan lancar sang guide mulai bercerita kalau benteng ini
dulunya bukan benteng Belanda. Benteng ini dulunya loji yang digunakan oleh
Portuhis untuk menyimpan rempah-rempah. Pada tahun 1605 Belanda datang ke
Ambon, saat berperang melawan salah satu kerajaan di Ambon loji ini beralih
fungsi menjadi pusat pertahanan atau Benteng. Bangunannya sangat kokoh, terdiri
dari tiga lantai dengan atap berbentuk seperti rumah Indonesia pada umumnya
dengan jendela bergaya benteng-benteng Eropa. Diceritakan pula kalau tanggul di
sekitar benteng ini dibuat dari karang, kapur dan putih telur sebagai perekat
untuk memecah kuatnya ombak dari Laut Seram.
Karena keadaan saya
yang kurang fit, saya hanya melihat-lihat lantai satu dan tangga yang menuju ke
lantai dua,. Di lantai ini terdapat penjara dan mesiu, kemudian saya beralih ke
halaman melihat-lihat sekeliling benteng. Dari bawah lantai tiga yang merupakan
area tebuka terlihat jelas. Lantai tertinggi ini adalah pos pemantau untuk
melihat musuh-musuh atau tamu yang datang dari laut. Pulau Seram terlihat cukup
jelas dari kejauhan.
Setelah berkeliling
saya duduk di rumput-rumput hijau tidak jauh dari depan pintu benteng, sesekali
saya meminta beberapa teman untuk berpose di jendela yang terdapat di lantai
dua dan pada pintu utamanya. Kata teman saya yang naik ke lantai dua dan tiga
terdapat prasasti yang dibuat oleh Kemendikbud bertulisakan Gerrard Demmer,
pembangun benteng ini. Bangunan kokoh putih ini membuat saya merasa semakin
kecil. Terutama saat saya mendongak dan menaiki tembok-tembok benteng yang
menghadap ke Laut Seram.
Keren
ReplyDeleteTerima kasih Adek Iqbal
ReplyDeleteDid you fly to Banda Naira? I am looking for the flight but can't find any updated information about it. Terima kasih
ReplyDeleteI didn't go to Banda Naira, well if you wanna go there you should come to Ambon firat, the flight is three times a week, or you can take Ferry that takes about 4 hours to this island. That's the only info I get from people there.
ReplyDelete