Suara Perempuan Dalam Fotografi

Pada tahun 2016 saya terlibat dalam wedding photography sekitar 4 kali dan pada tahun yang sama saya memutuskan untuk berhenti memotret pengantin karena bertemu dengan segerombolan gadis-gadis kecil yang masih duduk di bangku SD. Mereka baru pulang sekolah dan berhenti sejenak untuk menonton pengantin yang sedang berpesta di lapangan bersama dengan tamu-tamunya. Pesta ini adalah salah satu pesta paling megah di kampung kami. Jelas saya mendengar bahwa suatu hari nanti mereka ingin menikah dan berdandan seperti pengantin perempuan. Mendengar percakapan mereka membuat saya merasa telah melakukan hal yang salah dan bertanya kepada diri sendiri bagaimana kalau foto-foto pengantin yang saya ambil diihat oleh remaja atau anak-anak perempuan dan membuat mereka berpikir bahwa hidup tidak lain hanya tentang kecantikan, laki-laki dan pernikahan. Dunia sudah sangat patriarki dan saya tidak ingin menambahkannya lagi. 



Dengan dominasi hampir 90% fotografer yang berjenis kelamin laki-laki, bisa dikatakan bahwa apa yang dilihat dalam gambar adalah dunia yang difilter dari lensa dan pikiran laki-laki. Ini artinya sudut pandang yang didapatkan sebagian besar adalah sudut pandang laki-laki. Apakah kita sadar dengan hal ini? Apakah kita hanya membutuhkan sudut pandang dari laki-laki saja?

Dalam dunia fotografi, perempuan lebih mendapat ruang sebagai objek ketimbang subjek. Ada pujian yang sering dilantunkan seperti “Perempuan terlalu indah untuk memotret”. False appreciation ini telah membuat banyak perempuan lupa mengeksplor kecantikan pikiran dan jiwa yang mereka miliki. Sepanjang jalan besar berjajar foto-foto perempuan di papan iklan, berkulit mulus tanpa cela, bentuk lengan dan paha yang ramping, wajah ayu dengan bentuk hidung, mata dan bulu mata sempurna. Meskipun kita tahu itu hasil photoshop, namun secara tidak sadar hal itu menjadi tolak ukur standar kecantikan yang ada di masyarakat. Wajah dan bentuk tubuh menjadi sangat penting, bahkan berbagai lowongan kerja memberi syarat tinggi badan. 

Bisa dibayangkan selama ribuan  tahun perempuan dinarasikan penuh berdasarkan suara laki-laki, apa yang perempuan lihat adalah gambar-gambar bagaimana laki-laki mendefinisikan mereka. Tidak mudah bagi perempuan untuk menemukan definisi perempuan itu sendiri karena saat gambar diambil, dilihat dan diinterpretasikan, budaya sedang diwariskan. 

Keseimbangan dalam dunia fotografi akan menjadi suatu hal yang susah untuk dicapai apabila fotografer perempuan terus meminjam sudut pandang laki-laki. Fotografer perempuan harus menemukan jati diri dan perspektif mereka untuk mengimbangi karya-karya yang sebagian besar dihasilkan oleh lensa laki-laki. 

Pertanyaan sekarang adalah bagaimana cara fotografer perempuan menemukan hal tersebut? Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab secara personal oleh setiap fotografer perempuan karena untuk sampai pada jawaban ini ada perjalanan panjang yang harus ditempuh. Perjalanan tersebut bersifat personal terlebih lagi melepaskan diri dari sudut pandang laki-laki bahkan sama sulitnya seperti melepaskan diri dari suatu ism yang dipercaya. Perlu saya sampaikan bahwa tentu sudut pandang lelaki penting karena karya-karya perempuan bisa menjadikan karya lelaki sebagai pembanding untuk mengerti makna keseimbangan. Dan apabila perempuan berhasil menemukan diri mereka sendiri, saya yakin laki-laki akan lebih tergila-gila!

Comments

  1. Setuju sekali, saya laki-laki mbak Zi

    ReplyDelete
  2. ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
    hanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
    ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
    untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
    terimakasih ya waktunya ^.^

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Esai AAS: Kamu Melamar Apa atau Siapa?

Anatomi Essay Penerima Beasiswa CCIP

ESSAY REVIEW: Perempuan Penerima Tiga Beasiswa