Cita-Cita Baru: Jadi Kusir Cidomo Di Gili

Guru (Mia) dan Murid (Nurdin)
Secara tidak sadar, kita sering kali menarasikan pengklasifikasian terhadap pekerjaan-pekerjaan tertentu. Kita mengajarkan anak-anak untuk memilih menjadi polisi, dokter, dosen, insinyur atau pekerjaan lainnya dibanding menjadi activist, petani atau kusir cidomo. Kita tidak berani berpikir jika anak-anak kita menjadi petani, dia akan mengangkat harga diri petani Indonesia, mereka bisa membuat terobosan baru dalam bertani. Kita tidak berani membayangkan menjadi kusir cidomo bisa mendatangkan uang yang lebih besar dari pada bekerja di kantor dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Kita selalu membayangkan bahwa hidup seorang activist itu susah dan berbahaya.

Orang tua sering kali menganjurkan anak-anaknya untuk mengambil program IPA karena anggapan klasik bahwa program IPA adalah program terbaik dan untuk anak-anak pintar. Anak-anak seperti terdogma bahwa pekerjaan tertentu lebih baik dari pada yang lain. Dogma ini telah mengkungkung mereka untuk mencari bakat, minat bahkan telah membuat mereka meninggalkan hal-hal yang sebenarnya mereka inginkan. Konstruksi sosial yang dibangun dalam memandang suatu pekerjaan cenderung berdasarkan seragam, gengsi, kemampuan kognitif ataupun rupiah yang dihasilkan. Sering kali kita melupakan emotional intelligence dan menanamkan pola pikir spiritual growth yang sempit. Kita juga sebagai orang dewasa lupa cara bermimpi (mungkin karena kita terlalu fokus memikirkan cara untuk bertahan hidup, khawatir dan takut karena tubuh kita yang semakin menua). Kita selalu berbicara dalam konteks kita sendiri kekurangtahuan kita. Kita mulai mengabaikan perkembangan zaman dan kemajuan technology. Pernahkan kita menilik pekerjaan-pekerjaan yang baru muncul sepuluh tahun belakangan ini? Seperti Social media expert, web manager, App developer, Market Research Data Miner, Educational and Admission Consultant, Digital Artist atau Sustainabiliy Expert.

Anyway, Juni lalu saya bertemu dengan seorang Kusir Cidomo bernama Nurdin di Gili Air. Pemuda yang pernah menjadi sponsored student di salah satu international school di pulau Lombok ini memutuskan untuk menjadi Kusir Cidomo karena melihat peluang pasar yang besar di Gili Air. Ia menjadi kusir yang laris karena pelayanannya yang baik dan kemampuan Bahasa Inggris yang menyamai level Native Speaker. Sekarang pemuda yang berusia 19 tahun ini sudah memiliki 5 kuda, 3 cidomo untuk umum dan 2 kereta untuk mengangkut barang. Nurdin memiliki 5 kusir dan kadang-kadang ia menggantikan kusir-kusirnya saat ijin, sakit atau ada acara keluarga. Penghasilan menjadi Kusir Cidomo di Gili sangat menggiurkan. Pada high season, pendapatan kotornya perhari mencapai IDR 2.000.000 dan sekitar IDR 800.000 sehari pada hari biasa.

“Ibu Zi, saya rawat kuda-kudanya dengan baik, rajin kasi makan, jarang saya pecut Buq” katanya sambil meminta saya dan Mia untuk naik Cidomonya. Nurdin mengingatkan saya pada seorang Petani yang saya temui di Iowa. Petani zaman now yang memiliki ijin menerbangkan pesawat untuk memupuk gandum-gandumnya. 

Comments

  1. Tulisan yg membuat saya terharu bacanya. Cerita yg sangat menarik :)

    ReplyDelete
  2. kira2 klo mw ngelamar perlu pake surat lamaran kerja gak ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin pakeq iqbal dan kalau mau punyaq sendiri harus ada ijin, lumayan mahal ijinya.

      Delete
  3. Nurdin sama kita di Yayasan Peduli Anak (www.pedulianak.org) dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2016

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima Kasih Pak Chaim Fetter atas informasinya!!!

      Delete
  4. Karena banyak yg gengsi MBK hanya ingin jadi PNS terus nyogok itu kebiasaan di negeri ini.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Esai AAS: Kamu Melamar Apa atau Siapa?

Anatomi Essay Penerima Beasiswa CCIP

ESSAY REVIEW: Perempuan Penerima Tiga Beasiswa