Hakikat Pendidikan dalam Allegory of the Cave Karya Plato

 

Filsafat pendidikan membawa guru dan murid untuk saling bertanya satu sama lain, untuk bertanya kepada diri mereka masing-masing, apa itu ilmu pengetahuan? Apa yang dipelajari? Apa yang diajarkan? Mengapa harus dipelajari dan diajarkan? Siapa sebenarnya guru? Siapa sebenarnya murid? Kelas itu apa dan di mana? Pertanyaan-pertanyaan filosofis berimplikasi kuat dalam menafsirkan apa yang dibutuhkan dan apa yang perlu dilakukan.

Dalam sejarah filosofi barat, Alegory of the Cave, jilid ke VII yang ditulis oleh Plato dalam bukunya Republika merupakan peletak konsep dasar dan hakikat pendidikan. Jilid ini menggambarakan tentang keadaan masyarakat yang menolak sudut pandang berbeda atau realitas baru karena terjebak dalam pemikiran umum yang telah dipercaya oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Hal ini didiskusikan melalui cerita tradisi lisan dalam tulisan. Oleh karena itu, Plato menggunakan alegori di mana makna disembunyikan dalam tokoh-tokoh, benda-benda dan peristiwa untuk mewakili ide-ide yang ingin disampaikan. Pandangan Plato secara personal terhadap hakikat pendidikan direfleksikan kuat dalam cerita ini.

Ringkasan Allegory of the Cave

Percakapan tentang alegori di dalam gua, dilakukan oleh dua tokoh yaitu oleh Galukon, saudara laki-laki Plato sebagai tokoh pendukung dan Socrates sebagai tokoh utama dalam Republika. Cerita dibuka oleh Socrates dengan memaparkan penjelasan tentang keadaan siapa yang ada di dalam gua.

“Akan aku tunjukkan di dalam gambar sejauh mana hakitak kita diterangkan dan tidak diterangkan. Lihat! Manusia yang hidup dalam gua bawah tanah, yang mempunyai mulut terbuka menuju arah cahaya dan yang mencapai gua tersebut; mereka sudah berada di sini sejak kecil, dan kaki serta tangan mereka telah terbelenggu sehingga mereka tidak bisa bergerak sama sekali, dan hanya bisa melihat kea rah depan, karena mereka telah dicegah oleh rantai yang memasung mereka sehingga mereka tidak bisa menoleh kea rah lain. Di belakang mereka api bercahaya dari kejauhan dibalik jalan naik; dan engkau akan melihat, jika engkau melihat, tembok yang rendah dan dibangun di sepanjang jalan itu, bagaikan layar yang dimiliki oleh para pemain wayang golek yang dibentangkan dihadapan mereka, yang dari baliknya itulah mereka memperlihatkan wayang,” ucap Socrates dalam Republika halaman 307.  

Orang-orang yang melintas di jalan itu membawa berbagai jenis benda, patung dan bejana. Sedangkan di dalam mereka yang yang terkurung dalam gua hanya bisa mengamati bayangan-bayangan tersebut dan menamainya sebab mereka terpasung, tidak bisa menggerakkan kepala melihat satu sama lain. Gema dalam gua dari para pejalan kaki juga terdengar seperti suara dari bayang-bayang. Bagi mereka kebenaran yang harfiah adalah gambar-gambar atau bayangan-bayangan bergerak yang ada pada dinding tersebut.

Salah satu dari narapidana di dalam gua ini dibebaskan, ia berjalan naik keluar mencari sumber cahaya. Pertama-tama mereka akan mengalami penderitaan yang luat biasa sebab cahaya sangat menyilaukan dan menyusahkan. Dibesarkan di dalam gua tentu sangat mempengaruhi mata mereka. Tidak akan muah melihat realitas yang ada. Butuh penyesuaian, di mana kebingungan dan keraguan muncul, kemudian berbagai argumentasi mengikuti hingga ia menemukan realitas dan mengucapkan selamat kepada dirinya. Saat ia kembali ke gua dan menceritakan realitas yang sebenarnya, ia dianggap sebagai ancaman, semua narapidanan di dalam gua tidak percaya sebab mereka sudah merasa nyaman dengan realitas hidup di dalam gua. Pun Mereka lebih memilih tidak dibebaskan.

Pendidikan dan Metafora Plato

Alegori yang diceritakan adalah analogi dari kehidupan manusia sehari-hari dalam mencari kebenaran. Plato membagi dua dunia, dunia di dalam gua (dunia bawah) dan dunia di atas gua (dunia atas/dunia dewa) untuk mewakili yang tercerahkan dan belum dicerahkan. Gua indentik dengan gelap, sementaran di luar gua bermandikan cahaya matahari.

Gua dan semua alat pasung adalah dunia penglihatan, zona aman dan pikiran yang mencegah manusia untuk menemukan kebenaran. Narapidana adalah kita, manusia yang cenderung menganggap bahwa kepercayaan yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat adalah benar. Bukankah sesuatu belum tentu benar walaupun sebagian besar orang mempercayainya? Jalan menanjak yang didaki oleh salah satu narapidana yang dibebaskan adalah prores mendaki jiwa, yang menguji keberanian manusia untuk keluar dan melihat apa yang sebebarnya terjadi. Sementara cahaya adalah simbol pencerahan.

Menurut Plato, ide tentang kebenaran, ide atau ilmu muncul terkahir sebagai akibat dari usaha. Ada keinginan dan kekuatan dalam bertindak. Proses keluarnya salah satu narapidana dan bagaimana ia bisa beradaptasi dengan cahaya dan lingkungan yang baru adalah proses edukasi. Dalam hal ini, Plato menyiratkan bahwa motivasi dari dalam diri manusia untuk mencari tahu harus ada. Pelajar harus siap menjadi gelas kosong, menapung semua ide, melihatnya dengan akal dan mata batin. Dan pendidikan tidak selalu harus mencapai kebenaran, namun proses pendidikan itu sendiri adalah hal yang membangun kemampuan dan karakter manusia menjadi lebih baik.

Singkatnya, belajar bukan proses yang sederhana bagi Plato. Mengetahui atau mendekati kebenaran bisa menjadikan seseorang minoritas. Manusia harus berani menanggung resiko atas apa yang ia pelajari sebab kebenenaran yang dibawa untuk menerangkan masyarakat tidak selalu dipercaya. Menurut beberapa penelitian, orang-orang pintar dan mengetahui banyak hal cenderung lebih cepat depresi dan cemas yang mengakibatkan mereka kesepian atau terasing dari orang-orang pada umumnya. Dengan kata lain, mengetahui kebenaran, menjadi tercerahkan, manusia juga harus siap mencoba menerangkan dan diasingkan.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Esai AAS: Kamu Melamar Apa atau Siapa?

Anatomi Essay Penerima Beasiswa CCIP

ESSAY REVIEW: Perempuan Penerima Tiga Beasiswa