Sehari Menjadi Homeless di Amerika


“It was 5 degree Celsius, clear wavy smoke was obviously seen when I spoke. That night I wrapped myself with three layers blanket and sticked some heat products on my hands and toes. I slept under card board roof.  When I woke up the dews on the grass were frosty. Tip of my fingers hurt. I squished and put them under my tights while imagining bright Lombok sunny sky; school of fish that jump out and in into the blue turquoise water.”

Sore tepatnya jam 3.30, Jane dan Nazim menjemput group CCI Kirkwood di depan apartment 105. Semua mahasiswa sudah siap dengan selimut dan jaket tebal. Suhu musim gugur di Iowa sama dinginnya dengan rata-rata suhu di puncak Rinjani. Mobil melaju menuju Veteran Memorial Stadium. Setelah mendaftar, kami masuk ke stadium, beberapa relawan yang mengenakan jaket bertuliskan Lynn County Sleep for Homeless mondar mandir memastikan semua peserta merasa nyaman dan tahu di mana fasilitas umum seperti toilet dan ruangan tempat silent auction berlangsung.

Di lapangan, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, tua-muda, sedang sibuk membuat rumah dari kardus yang disediakan oleh panitia. Tidak ada homeless, mereka adalah orang-orang yang mau membayar US$ 10 permalam untuk hidup ala gelandangan, untuk mendidik anak-anak mereka dan masyarakat supaya lebih peduli terhadap homeless. Di Cedar Rapids sendiri tercatat ada sekitar 7.000 orang yang tidak memiliki rumah kata Don, ketua panitia program Sleep for Homeless.


Sebelum malam tiba dan cuaca semakin dingin, kami harus selesai membuat rumah kami. Pada musim gugur matahari tenggelam jam 5 sore. Malam lebih panjang dari pada siang. Janepun meniggalkan kami, sebelum pergi ia memberikan beberapa bungkus penghangat buatan yang biasanya digunakan oleh pemain ski dan orang-orang yang melakukan olah raga pada musim dingin supaya jari kaki dan tangan mereka tidak membeku. Tentu saja dia memberikan saya lebih, saya peserta yang paling sering complain masalah cuaca dingin, maklum saya tinggal di dekat garis khatulistiwa.


Setelah mengucapkan bye-bye pada coordinator, dengan gesit kami mengambil kardus dan beberapa isolasi coklat berukuran besar. Akhirnya kami berhasil membangun rumah dua pintu berbentuk huruf L. Kemudian saya memasukkan tiga selimut, bantal dan tas saya ke dalam rumah itu. Udara semakin dingin, bersama dengan peserta yang lain kami bermain bola untuk menghangatkan badan tapi saya tetap kedinginan. Setelah bermain bola kami menuju sebuah mobil yang bertuliskan Salvation Army untuk mengambil sup. Saya berdiri di belakang teman saya, akgirnya giliran sayapun tiba. “Do you have vegetarian soup?” Teman saya tertawa dan berkata “I don’t think there is a vegetarian homeless.” Sayapun mengambil sup itu dan hanya makan kuahnya saja.

Don Tyne ketua panitia program Sleep for Homeless



Dalam acara ini saya bertemu dengan banyak volunteer dan berbagai orang yang bekerja di organisasi sosial, salah satunya Joe serang lelaki muda yang sekarang sedang memiliki 60 homeless yang ia sebut sebagai clients. Bersama dengan Habitat for Humanity Joe dan staffnya membuatkan rumah yang biasanya selesai dalam satu bulan. Orang-orang yang saya temui mengingatkan saya pada sentilan dan protes yang sering saya ucapkan pada ibu saya terutama saat ia memberikan sumbangan kepada pengemis, saya akan mengkritiknya dengan alasan millennium favorit saya. Uang membuat orang menjadi malas, mereka perlu buku untuk dibaca supaya mendapatkan inspirasi bagaimana caranya keluar dari kemiskinan. Ibu saya tentu saja balas menjawab dalam Bahasa Sasak dialek ngeno-nege “Dendeq belo laloq siq mikir, mum gitaq, mum periak lansong tulong” Kalau dialih bahasakan artinya “Do not think too much, if you see it then you have a pity, help quickly.” Sayapun tidak membalas seperti biasanya, karena mood debat saya sedang menurun. Well, apa yang dikatakan ibu saya memang ada benarnya.

Comments

Popular posts from this blog

Esai AAS: Kamu Melamar Apa atau Siapa?

Anatomi Essay Penerima Beasiswa CCIP

ESSAY REVIEW: Perempuan Penerima Tiga Beasiswa