Hidup dan Pertanyaan-Pertanyaan Kami
Saat saya duduk di bangku SD,
saya dan teman-teman saya sering malu dan takut bertanya kepada guru. Kami
sebagai murid selalu diajarkan cara menjawab test dan jawaban kami selalu dituntut
untuk benar. Alhasil saat mencoba untuk berbicara atau mengemukakan pendapat
kami akan berada diurutan terbawah karena takut salah. Walaupun demikian kami
semakin terlatih dalam menjawab berbagai pertanyaan terutama dalam menjawab
ujian, nilai kami pada setiap mata pelajaran selalu di atas rata-rata. Apakah ini yang kami butuhkan?
Untuk menyadari pertanyaan yang
saya tanyakan sekarang ini membutuhkan hampir lebih dari puluhan tahun. Saat
saya duduk di bangku SMA, budaya bertanya terlihat lebih nyata, namun masih
terbatas hanya dalam seminar dan workshop. Saat mendengar pertanyaan yang
ditanyakan oleh peserta, saya bertanya kembali, mengapa saya harus bertanya.
Menurut seorang laki-laki tua bernama Syaiddurahman ada beberapa aturan yang
harus penanya sadari sebelum bertanya. Aturan pertama tidak ada pertanyaan yang
bodoh, pertanyaan yang bodoh adalah pertanyaan yang tidak ditanyakan. Aturan
kedua, bertanya karena tidak tahu dan ingin tahu bukan untuk menunjukkan
kepintaran atau seberapa banyak referensi yang telah dibaca dan juga bukan
untuk mempermalukan pembicara atau memenangkan suatu argumen. Aturan ketiga,
penanya harus menyadari jika terdapat perbedaan mati yang tidak bisa disatukan
atau bisa menyinggung pihak tertentu, penanya harus menggunakan kata-kata yang
sopan dan ringan. Aturan keempat, penanya harus menyadari bahwa mereka
membutuhkan informasi dan mengucapkan terima kasih setelah seseorang menjawab
semua pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan.
Sementara itu, di dalam kelas terutama
dalam pelajaran Ilmu sosial dan Ilmu pengetahuan Alam siswa selalu menjadi
pendengar dan penerima. Walaupun banyak pertanyaan berkecamuk dalam pikiran
kami tentang berbagai teori penciptaan, teori-teori ekonomi dan cerita dari
buku-buku sejarah yang kami baca, kami tidak mengungkapkannya dan guru-guru
kami selalu memaparkan ide-ide yang sepertinya mutlak untuk dibantah, ide-ide
yang sering kali di bawah satu ism
tertentu. Kami menyimpan semua pertanyaan itu hanya untuk kami sendiri, kami juga
takut dinilai sebagai pembantah atau bahkan pendosa. Kamipun menunggu entah
kapan semua pertanyaan itu akan meledak atau mungkin terlupakan hingga kami
menjadi patuh sesuai dengan definisi siswa yang baik yang berlaku di tanah ini.
Tahun 2012 saya diterima mengajar
di salah satu sekolah National plus, yang bersekolah di sini umumnya adalah
anak-anak expatriate dari berbagai negara di dunia. Sekolah ini mengadopsi
berbagai kurikum asing seperti Cambridge, IB, Victoria dan kurikulum Indonesia
juga termasuk di dalamnya. Kurikulum sekolah ini bertajuk Global Citizenship dengan tiga misi utama yaitu communication, critical thinking dan
creative thinking. Tahun pertama, saya dipasangkan dengan seorang guru
asing dari Australia, namanya Diane Nortbury. Saya dilatih dan diarahkan
bagaimana membangun budaya diskusi dan bertanya di dalam kelas, cara memberikan
respon dan penjelasan yang logis dan netral dalam mengajar. Saya tidak boleh
merespon murid saya dengan kata “pintar” saya harus menggantinya dengan komen
“usaha yang bagus.” Saya juga disarankan untuk menghindari kalimat negative,
saya dituntut harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap siswa dan
yang terpenting guru harus mencari cara atau menggunakan tehnik dan strategi
mengajar yang menarik supaya siswa tidak bosan dan terpacu untuk tetap
produktif. Tahun pertama di sekolah ini saya habiskan penuh untuk mempelajari
semua sistem sekolah ini. Suatu hari saya melihat Diane sangat kecewa karena
mati lampu. Sekolah ini belum punya genset pada saat itu. Saat melihat wajah
Diane, saya tahu pasti bahwa dia memang bermimpi menjadi seorang guru dan
sekarang dia menjalankan mimpi itu. Sangat berbanding terbalik dengan saya, saya
tidak pernah bermimpi menjadi guru. Profesi ini adalah pilihan terakhir. Ibu
saya selalu menginginkan anak-anaknya menjadi pegawai negeri.
Bisa dibayangkan bagaimana nasib
jutaan siswa-siswi yang diajar oleh orang-orang yang tidak mencintai profesinya,
akankah sekolah bisa membantu mereka untuk menggali potensi dan ide dalam diri
mereka. akankah mereka percaya kalau mimpi-mimpi mereka bisa terwujud, akankah
mereka bisa menjadi orang yang percaya diri, berani bertanya, berani
mengemukakan pendapatnya, menjelaskan ide-ide dan mengatakan kalau mereka
berbeda. Pertanyaan lainnya adalah pertanyaan untuk diri saya sendiri. Apakah
saya harus tetap mengajar atau tidak?
Tidak ada yang saya sesali,
paling tidak saya sudah belajar bagaimana menjadi guru yang baik. Akhirnya
tahun 2015 saya meninggalkan pekerjaan yang sudah saya jalani selama 4 tahun.
Saya kembali ke bangku kuliah, belajar dan mengejar mimpi saya menjadi seorang
penulis dan photographer.
Comments
Post a Comment