Setelah Menjual Alam, Menjual Budaya, Menjual Agama dan Mengotori Pulau Ini, Apa Lagi?
Gili Trawangan |
Saat membuka blog ini, kalian
akan menemukan berbagai tulisan, di antaranya tentang keindahan alam di
berbagai belahan dunia. Kalian juga akan menemukan berbagai artikel tentang
bahasa daerah, cara hidup, cara berpikir, hukum adat dan tradisi. Ya saya
sedang menjual alam dan budaya saya sendiri melalui tulisan-tulisan ini. Mungkin
setelah membuka blog ini kalian juga akan mengklik website lainnya di mana
pengunjungnya akan menemukan berbagai jenis produk. Makanan minuman sehat
dengan label yang terbuat dari bahan-bahan alami, obat-obatan manjur yang
diambil dari alam, pakaian yang terbuat dari berbagai kulit hewan, mobil hybrid
hingga hunian dengan brand Eco-friendly. Apakah
kita benar-benar beresahabat dengan alam?
Pertanyaan ini pasti terngiang,
apalagi setelah mengklik website-website tersebut kemuadian kalian menutupnya
dan bersiap untuk melakukan sebuah petualangan seperti naik gunung. Sebelum
berangkat kalian mandi, mungkin sekitar tiga sampai lima menit karena tagihan
air mahal ataupun karena kalian ingin menggunakan air secukupnya, kemudian kalian
memanaskan motor menyaksikan bagaimana bau tidak sedap keluar dari knalpot dan
menyatu dengan udara. Dengan buru-buru kalian menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan.
Di jalan kalian berhenti untuk mengisi bensin yang mungkin diambil dari lapisan
bumi yang berada di samudra pasifik. Saat melihat plastik berterbangan mungkin
pertanyaan tersebut tidak begitu terngiang seperti saat kalian berada di tempat
tujuan. Di sepanjang pendakian apakah kalian berbicara pada diri sendiri sambil
mencaci para pembuang sampah dan memungutnya? Atau memberi tips kepada
porter-porter kalian karena telah membawa semua sampah turun? Atau malah
sebaliknya, kalian meninggalkan semua sampah di tempat tujuan dan pertanyaan
tersebut sama sekali tidak terbesit?
Setelah perjalanan ini tentu saja
kalian pulang dengan wajah lelah bercampur bahagia dengan foto selfie dan
berbgai foto-foto pemandangan di puncak yang memperlihatkan setiap sudutnya.
Perjalanan kalian tidak akan lengkap tanpa mempostingnya di akun sosial media
kalian, kalau tidak, mungkin kalian akan menjualnya seperti apa yang saya
lakukan.
Setelah menjual alam, manusia, kita
tidak puas dengan apa yang kita dapatkan. Kemudian kita menjual budaya kita
sendiri melalui berbagai festival dan pagelaran budaya. Tarian tidak lagi
ditarikan untuk tujuan awal. Kesakralan upacara dan tradisi tidak seperti
sebelumnya, tidak lagi ditujukan untuk mengucapkan syukur ataupun doa tapi menjadi
cara untuk menarik wisatawan berkunjung ke tempat kita. Sekarang kita bahkan
jarang berbicara dalam Bahasa Daerah, hampir semua teman selalu berbahasa
Indonesia dan bahkan berbahasa Inggris. Bahkan di sekolah-sekolah pelajaran
muatan lokal bukan bahasa daerah lagi. “Let’s society decides” kata seorang
Professor memberi respon saat pertanyaan mengenai cultural loss dikemukakan. “In one of villages in Manggarai, if you
come there the people used to offer coffee but since tourism developed, now
people do not do that anymore, everything turns into business, it is sad that
we loss that pure feeling.” Lanjut salah seorang mahasiswa lainnya. Sang
professor menjawab, budaya itu dynamic.
Dalam perubahannya ada yang berkembang menjadi positif maupun negatif.
Hal ini mengingatkan saya pada
percakapan dengan seorang researcher dari jepang. Dalam percakapan ini ia
bercerita tentang pelitiannya Ia melakukan penelitiannya di salah satu desa di
Lombok yang dikenal sebagai sumber pencuri. Pada tahun 80an dan 90an, orang-orang
tidak akan berani melewati tempat tersebut karena biasanya mereka akan distop,
barang dan motor mereka dirampas. Dalam penelitiannya, researcher jepang ini
menemukan bahwa nenek moyang penduduk desa ini adalah pahlawan pada masa
penjajahan Bali. Karena jumlah orang Sasak tidak banyak, tidak memungkinkan
untuk orang Sasak melawan dalam perang terbuka. Jadi mereka harus bergerak
seperti Robin Hood, mencuri untuk rakayatnya dan membunuh lawannya secara
diam-diam. Budaya yang dulunya dianggap baik ini berkembang ke arah negatif.
Tidak puas dengan keduanya, kita
pun kemudian berpikir untuk mencari hal yang lebih menarik untuk dijadikan
magnet yang bisa mendatangkan lebih banyak pengunjung ke pulau ini. Kita pun
memilih agama dan menggunakan brand tersebut. Kita membangun mesjid-mesjid megah
menjadi icon untuk menarik pengunjung
dan terkadang melupakan fungsi seharusnya. Dalam sebuah interfaith dialog, saya
bertemu dengan seorang Syiah Ismaili dari Pakistan, Ismaili menyebut tempat ibadah
mereka community center bukan mesjid,
dengan penasaran saya bertanya kenapa. Ia menjawab, fungsi mesjid sekarang
hanya sebagai tempat ibadah bahkan hanya sebagai icon kesombongan manusia atas
peradabannya, di masa nabi mesjid tidak hanya tempat ibadah tetapi juga tempat
diskusi, perpustakaan, tempat menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di
masyarakat dan tempat belajar.
Setelah menjual alam, budaya dan agama kita
sendiri, kita pun sangat malas untuk sekedar membuang sampah kita sendiri. Setiap
sudut pulau tidak luput dari plastik dan puntung rokok. Bahkan tidak jarang orang yang dianggap
terpandang tidak segan-segan membuang sampah ke jalan saat berada dalam
mobil mewahnya.
Well, I am writing this article to remind myself and you, as the biggest
beneficiary on this planet. Many times I heard that human is the representative
of God on Earth, does it mean we are Earth’s guardian? I am wondering what your
answers are since mostly we choose our role as a consumer.
Comments
Post a Comment