Hidup dan Pertanyaan-Pertanyaan Kami

DR. Syaiddurahman, Director CCC

Saat saya duduk di bangku SD, saya dan teman-teman saya sering malu dan takut bertanya kepada guru. Kami sebagai murid selalu diajarkan cara menjawab test dan jawaban kami selalu dituntut untuk benar. Alhasil saat mencoba untuk berbicara atau mengemukakan pendapat kami akan berada diurutan terbawah karena takut salah. Walaupun demikian kami semakin terlatih dalam menjawab berbagai pertanyaan terutama dalam menjawab ujian, nilai kami pada setiap mata pelajaran selalu di atas rata-rata. Apakah ini yang kami butuhkan?

Untuk menyadari pertanyaan yang saya tanyakan sekarang ini membutuhkan hampir lebih dari puluhan tahun. Saat saya duduk di bangku SMA, budaya bertanya terlihat lebih nyata, namun masih terbatas hanya dalam seminar dan workshop. Saat mendengar pertanyaan yang ditanyakan oleh peserta, saya bertanya kembali, mengapa saya harus bertanya. Menurut seorang laki-laki tua bernama Syaiddurahman ada beberapa aturan yang harus penanya sadari sebelum bertanya. Aturan pertama tidak ada pertanyaan yang bodoh, pertanyaan yang bodoh adalah pertanyaan yang tidak ditanyakan. Aturan kedua, bertanya karena tidak tahu dan ingin tahu bukan untuk menunjukkan kepintaran atau seberapa banyak referensi yang telah dibaca dan juga bukan untuk mempermalukan pembicara atau memenangkan suatu argumen. Aturan ketiga, penanya harus menyadari jika terdapat perbedaan mati yang tidak bisa disatukan atau bisa menyinggung pihak tertentu, penanya harus menggunakan kata-kata yang sopan dan ringan. Aturan keempat, penanya harus menyadari bahwa mereka membutuhkan informasi dan mengucapkan terima kasih setelah seseorang menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan.

Sementara itu, di dalam kelas terutama dalam pelajaran Ilmu sosial dan Ilmu pengetahuan Alam siswa selalu menjadi pendengar dan penerima. Walaupun banyak pertanyaan berkecamuk dalam pikiran kami tentang berbagai teori penciptaan, teori-teori ekonomi dan cerita dari buku-buku sejarah yang kami baca, kami tidak mengungkapkannya dan guru-guru kami selalu memaparkan ide-ide yang sepertinya mutlak untuk dibantah, ide-ide yang sering kali di bawah satu ism tertentu. Kami menyimpan semua pertanyaan itu hanya untuk kami sendiri, kami juga takut dinilai sebagai pembantah atau bahkan pendosa. Kamipun menunggu entah kapan semua pertanyaan itu akan meledak atau mungkin terlupakan hingga kami menjadi patuh sesuai dengan definisi siswa yang baik yang berlaku di tanah ini.

Tahun 2012 saya diterima mengajar di salah satu sekolah National plus, yang bersekolah di sini umumnya adalah anak-anak expatriate dari berbagai negara di dunia. Sekolah ini mengadopsi berbagai kurikum asing seperti Cambridge, IB, Victoria dan kurikulum Indonesia juga termasuk di dalamnya. Kurikulum sekolah ini bertajuk Global Citizenship dengan tiga misi utama yaitu communication, critical thinking dan creative thinking. Tahun pertama, saya dipasangkan dengan seorang guru asing dari Australia, namanya Diane Nortbury. Saya dilatih dan diarahkan bagaimana membangun budaya diskusi dan bertanya di dalam kelas, cara memberikan respon dan penjelasan yang logis dan netral dalam mengajar. Saya tidak boleh merespon murid saya dengan kata “pintar” saya harus menggantinya dengan komen “usaha yang bagus.” Saya juga disarankan untuk menghindari kalimat negative, saya dituntut harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap siswa dan yang terpenting guru harus mencari cara atau menggunakan tehnik dan strategi mengajar yang menarik supaya siswa tidak bosan dan terpacu untuk tetap produktif. Tahun pertama di sekolah ini saya habiskan penuh untuk mempelajari semua sistem sekolah ini. Suatu hari saya melihat Diane sangat kecewa karena mati lampu. Sekolah ini belum punya genset pada saat itu. Saat melihat wajah Diane, saya tahu pasti bahwa dia memang bermimpi menjadi seorang guru dan sekarang dia menjalankan mimpi itu. Sangat berbanding terbalik dengan saya, saya tidak pernah bermimpi menjadi guru. Profesi ini adalah pilihan terakhir. Ibu saya selalu menginginkan anak-anaknya menjadi pegawai negeri.

Bisa dibayangkan bagaimana nasib jutaan siswa-siswi yang diajar oleh orang-orang yang tidak mencintai profesinya, akankah sekolah bisa membantu mereka untuk menggali potensi dan ide dalam diri mereka. akankah mereka percaya kalau mimpi-mimpi mereka bisa terwujud, akankah mereka bisa menjadi orang yang percaya diri, berani bertanya, berani mengemukakan pendapatnya, menjelaskan ide-ide dan mengatakan kalau mereka berbeda. Pertanyaan lainnya adalah pertanyaan untuk diri saya sendiri. Apakah saya harus tetap mengajar atau tidak?

Tidak ada yang saya sesali, paling tidak saya sudah belajar bagaimana menjadi guru yang baik. Akhirnya tahun 2015 saya meninggalkan pekerjaan yang sudah saya jalani selama 4 tahun. Saya kembali ke bangku kuliah, belajar dan mengejar mimpi saya menjadi seorang penulis dan photographer.

Comments

Popular posts from this blog

Esai AAS: Kamu Melamar Apa atau Siapa?

Anatomi Essay Penerima Beasiswa CCIP

ESSAY REVIEW: Perempuan Penerima Tiga Beasiswa