Rindu, Lamunan Pendek dan Pertunjukan Contemporary Art BBLS 2016

“Kemajuan suatu bangsa bisa dilihat dari seberapa besar masyarakatnya menghargai seni”

Tari Dingklik Sinden

Undangan untuk menonton sebuah pertunjukan Contemporary Art tidak mungkin saya tolak. Semenjak kembali dari negeri Paman Sam, hampir lebih dari tiga  bulan saya tidak menonton pentas seni, tidak menulis tentang seni, tidak mengambil photo berbagai kegiatan yang dilakukan seniman dan bahkan belum pernah menyempatkan diri untuk melihat karya-karya installation art dari karya seniman-seniman Lombok dan Sumbawa sendiri.

Di sela kamis yang padat, tanggal 14 September malam, saya meluangkan waktu khusus untuk datang ke acara Contemporary Art Performance yang juga merupakan bagian dari Bulan Budaya Lombok-Sumbawa (BBLS) 2016. Saat memasuki ruangan, ruang pertunjukan utama Taman Budaya terasa asing. Ruang ini diisi dengan kursi-kursi merah yang tertata rapi seperti suasana gedung-gedung bioskop di mall-mall besar. Lantainyapun beralaskan karpet abu yang bersih. Kipas kecil yang saya bawa tidak dibutuhkan karena suhu dalam ruangan ini sudah cukup dingin.

Acara dimulai setelah 20 menit saya berada di sana. Ada banyak kursi yang masih kosong. Kursi-kursi kosong ini membawa saya ke dalam lamunan pendek. Tahun 1943, Abraham Maslow mengemukakan sebuah teori yang dikenal dengan Theory of Motivation. Teori ini mengungkapkan bahwa seni masuk ke dalam piramida tertinggi yang juga merupakan bagian dari kebutuhan akhir Self-Actualization seorang manusia. Jadi rasa seni, kreatifitas, moral, penerimaan, potensi pemahaman dan keinginan untuk terlibat dalam hal-hal yang  bersifat murni untuk pengalaman biasanya muncul setelah physiological needs, safety and security needs, love belongingness needs dan Self-esteem needs terpenuhi. Dengan kata lain, mampu memahami dan menghargai seni adalah ciri manusia yang berada di puncak tertinggi sebagai seorang manusia. Lamunan ini terpotong oleh suara Host yang memanggil para penari untuk mempertontonkan karyannya.

Tari Bukan Bercanda

Pertunjukan pertama dibuka dengan Tari Dingklik Sinden yang diatarikan oleh 8 orang. Tari contemporer ini bercerita tentang gaya dan watak perempuan yang ditampilkan dalam lekukan-lekukan yang kuat dan gemulai serta dicampur dengan komedi yang menyulut tawa penonton. Pertunjukan kedua semakin menarik tidak hanya karena berjudul “Bukan bercanda” tetapi juga karena tarian ini menggambarkan perpaduan gerakan-gerakan tarian timur dengan tarian-tarian dari negeri barat. Lompatan-lompatan, pique dan berbagai gerakan putar yang bertumpu pada kaki sangat menyita perhatian saya. Beberapa gerakan mengingatkan saya pada gerakan Ed Sheeran dalam video klip thinking out loud.  Alhasil saya hanya mengambil satu photo pada tarian yang ditarikan oleh dua orang ini. Tarian terakhir yaitu “Tertambat.” Ditarikan tunggal dan diawali dengan grakan-gerakan menggoda, yang tersembunyi dibalik daun pisang dan membuat penonton penasaran. Selain komposisi gerakan yang kaya akan tarian klasik dan modern, warna musik juga memadukan petikan dan pukulan dari berbagai peradaban seni.

Tari Tertambat
Diskusi terbuka dengan penonton
Setelah pertunjukan tiga tari ini, penonton bisa berdialog langsung dengan para penari yang juga adalah dosen-dosen ISI Yogyakarta. Beberapa pertanyaan menarik terlontar dari beberapa penonton yang juga sedang menekuni seni tari. 



Comments

Popular posts from this blog

Esai AAS: Kamu Melamar Apa atau Siapa?

Anatomi Essay Penerima Beasiswa CCIP

ESSAY REVIEW: Perempuan Penerima Tiga Beasiswa