4 Hari Menelusuri Alam Liar Tanjung Puting Di Atas Rumah Terapung
Photo oleh Dana Hookins |
Saat mendengar kata Borneo banyak
hal yang terlintas di benak saya, mulai dari pelajaran IPS, pelajaran Bahasa
Indonesia sampai dengan buku-buku penulis terkenal, journal penelitian dan film
Hollywood yang menggunakan Hutan Borneo sebagai settingnya. Saya mendengar Borneo pertama kali ketika saya masih
duduk di sekolah dasar pada pelajaran Bahasa Indonesia yang merupakan salah
satu mata pelajaran bahasa asing yang ditawarkan di sekolah saya. Kalau dalam
bahasa Indonesia, Borneo disebut Kalimantan. Konon kata ini diambil dari bahasa
Sangsekerta yang berarti pulau tropis. Pulau yang merupakan permata hijau
khatulistiwa ini memang telah menarik berbagai penjelajah, pendaki, pencinta
alam, peneliti dan penikmat wisata dari seluruh dunia termasuk saya salah
satunya. Pada pertengahan tahun 2013,
kedua orang tua saya menjenguk saya di Pulau Lombok—tempat saya bekerja sebagai
seorang relawan di bawah naungan AUSAid.
Orang tua saya hanya menghabiskan beberapa hari di Lombok. Setelah itu kamipun
terbang dari Lombok ke Jakarta dan keeseokan harinya kami terbang lagi dengan
Trigana Air ke Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Penerbangan yang kami tempuh dari Jakarta ke
Pangkalan Bun memakan waktu sekitar 1 jam 15 menit.
Setiba di Bandara kami sudah
ditunggu dan siap diantar menuju tujuan dengan Honda Terios Hitam. Saya
menyandarkan kepala dengan nyaman di dalam mobil, menyimpan tenaga untuk
berpetualang di Alam Liar Tanjung Puting. Tidak membutuhkan waktu lama untuk
sampai di tempat tujuan, sekitar 40 menit menyusuri area hutan kamipun sampai di
dermaga dan menaiki boat kecil yang sudah siap meluncur. Boat ini adalah boat sungai yang
terbuat dari kayu Klotok yang panjangnya sekitar 17 m dan tinggi 2, 5 m. Di
atas boat terdapat rooftop di mana
penumpang bisa lebih leluasa menyaksikan keindahan alam hutan tropis Tanjung
Puting. Sementara di deck bawah terdapat beberapa kursi dan ayunan kain untuk
tempat bersantai. Boat ini dilengkapi oleh 4 awak termasuk satu juru masak dan
satu orang guide. Boat kecil ini menjadi rumah kami selama 4 hari. Kami
menyebutnya kapal Bajak Laut.
Hari pertama: Pankalan
Bun-Kumai-Tanjung Harapan
Photo oleh Tony Hookins |
Saat kami boarding, makanan sedang disiapkan, rumah terapung kamipun mulai melaju di atas sungai yang berwarna coklat
susu. Sekitar jam 3 sore kami tiba di pemberhentian pertama, Tanjung Harapan
Rehabilitation Center for Orangutans. Kami sampai pada waktu yang tepat. Saat
itu waktunya orangutan makan. Guide kami Chris kebetulan pernah bekerja di
tempat ini untuk mengasuh bayi orangutan. Saat kami datang ada seekor orangutan
jantan utan yang mengenal Chris dengan baik tapi orangutan jantan ini tidak
suka kepada Chris. Chrispun bersebunyi di balik pohon, saat orangutan itu
lewat, Chris medorong kepala orangutan itu kemudian bersembunyi lagi. Orangutan
itu berhenti, ia tahu Chris yang melakukannya. Kemudian orangutan itu melempar
Chris dengan ranting. Chris bersembunyi lagi. Orangutan itupun pergi dengan
tenang. Saat kami berjalan menyusuri tempat rehabilitasi, orangutan itu
tiba-tiba muncul lagi dan melempar Chris dengan ranting kering. Saya, Ibu dan
Ayah saya tertawa terbahak-bahak.
Hari kedua: Pesalat-Camp Leakey
Photo oleh Daniel Hookins |
Kami bangun tepat saat matahari
terbit. Suara burung dari hutan mengiringi makan pagi pertama kami. Boat kami melaju
menuju Sungai Sekoyer. Di sepanjang sungai yang berwarna seperti the ini, tergambar
bayangan dari tumbuhan yang berjajar di kiri kanan sungai. Kami juga sangat
beruntung bisa melihat seekor buaya air tawar dan menyaksikan berbagai atraksi
alam liar lainnya. Pada siang hari, boat kami kembali merapat di sebuah dermaga
kayu. Kamipun berjalan menuju hutan. Sekitar 15 menit dari dermaga kami tiba di
Camp Leakey. Ayah dan Ibu saya sangat senang karena sebelumnya mereka pernah
buku berjudul Reflection of Eden yang ditulis oleh Dr. Birute Galdikas. Dalam
bukunya Dr. Galdikas menulis tentang
Camp Leakey, Tanjung Puting merupakan pusat penelitian dan konservasi
orangutan pertama di dunia. Meskipun Dr. Galdikas memang tidak lagi menetap di
tempat ini tapi kadang-kadang ia kembali untuk menengok orangutans. Di Camp
Leakey juga terdapat informasi tentang sejarah pertama kali Dr. Galdikas sampai
di tempat ini dan bagaimana ia memulai penelitiannya tentang orangutan. Di Camp
Leakey tersedia tempat khusus untuk memberi makan orangutan. Kami sangat
menikmati gerak gerik mereka dan bisa merasakan kemiripan kami dengan mereka. Salah
satu orangutan bernama Siswi jatuh cinta pada Ayah saya. Dia tiba-tiba loncat
dan duduk tepat di samping ayah saya. Setelah puas melihat orangutan kamipun
kembali ke boat dan melanjutkan perjalanan kami. Seperti hari pertama kami
tidur cepat karena di tengah hutan, malam terasa lebih cepat.
Hari ketiga: Pondok Tanguy-Jungle
Trekking-Sanjoi Sekoyer Village
Photo oleh Dana Hookins |
Setelah makan pagi kami menuju
Pondok Taguy yang juga merupakan tempat untuk melihat orangutan. Jumlah
rehabilitasi orang hutan di Kalimantan tengah terbilang kecil jika dibandingkan
dengan jumlah orangutan yang kehilangan habitatnya akibat deforestasi yang
dilakukan oleh industri kelapa sawit. Sepertinya kami harus mencoret minyak
kelapa sawit dari daftar belanja dan mengurangi konsumsi makanan yang
menggunakan minyak tersebut. Untuk mencapai Desa Taguy kami trekking menyusuri hutan sambil
menikmati penjelasan Chris tentang berbagai tanaman lokal yang bisa dijadikan
obat-obatan. Chris adalah seorang Dayak . Ia banyak belajar tentang tanaman
dari kakeknya. Sebelum jam makan siang kamipun kembali ke boat. Pada sore hari
kami tiba di Desa Sonjay Sekonyer. Penduduk desa ini sebagian besar bekerja di
pusat rehabilitasi orang hutan dan di perkebunan kelapa sawit. Sungai di
sekitar desa ini juga sudah tercemar oleh limbah tambang emas. Setelah puas
mengelilingi desa, kamipun kembali lagi ke boat. Pada malam ketiga ini kami
dimanjakan oleh ratusan cahaya kunang-kunang yang menjadi lilin saat kami makan
malam.
Hari keempat: Kumai-Pangkalan Bun
Boat kami kembali ke Kumai. Di
sana kami kembali di jemput oleh Terios hitam yang akan mengantarkan kami
keluar dari area hutan menuju Bandara Pangkalan Bun. Sebelum pergi kami memberi ucapan selamat tinggal dan pelukan hangat kepada awak boat yang telah mendukung perjalanan kami.
Untuk menikmati
perjalanan 4 hari 3 malam ini orang tua saya merogoh kocek sekitar US$765
diluar biaya pesawat. Biaya ini sangat sepadan dengan pelayanan yang kami
dapatkan. Di pesawat Ibu saya terus membicarakan orangutan. Sepertinya dia
ingin kembali menggendong bayi orangutan dan memberinya makan.
Comments
Post a Comment