Berlayar Dengan Kapal RMS Titanic Tahun 2015 di National Mississippi River Museum

“No camera, no flash, I am sad but at the same time it gives me more space to jump into the dark deepest past, make me feel like on the ship from Southampton England to New York”


Photo oleh Mahmoed Chaeb

Tiket sudah ditangan. Saya berdiri di tengah tangga, di tengah antrian yang panjang bersama dua orang teman saya. Akhirnya tibalah giliran saya. Seorang perempuan paruh baya berkostum hitam merobek tiket yang saya sodorkan dan memberikan sebuah boarding pass untuk memasuki ruang pameran kapal Titanic yang terbagi ke dalam 4 ruangan. Perempuan itu mengingatkan saya kalau saya tidak boleh mengambil gambar alasannya bisa menurunkan kualitas artefak Titanic yang dipamerkan. Sayapun mengangguk pasrah.  Sebelum memasuki ruangan, seorang photographer mempersilahkan saya untuk berdiri di depan Photo Booth yang disediakan. Sayapun berpose dengan senyuman riang  di atas sebuah miniature ujung kapal Titanic tempat favorite Jack and Rose, dan saya tahu pasti kapal Titanic saya Unskinable.

Di depan ruangan pameran pertama, seorang lelaki tua tinggi berjenggot panjang mengucapkan selamat datang, ia meminta boarding pass saya. Kemudian ia membalik boarding pass tersebut dan membacakan nama saya dengan lantang “Mrs. Clause Peter Hansen alias Jennie L  Howard”. Sayapun menyadari kalau pameran ini benar-benar disetting seperti kapal Titanic untuk membuat pengunjungnya benar-benar masuk ke dalam sejarah yang dialami Titanic. Lelaki tua itupun mengembalikan Boarding Pass saya. Saya mengambilnya dengan semangat dan membacanya kembali. Dalam boarding pass tersebut tertera umur saya 45 tahun, saya berasal dari Racine Wisconsin. Di kapal Titanic saya ditemani oleh suami saya bernama Clause Peter Hansen dan ipar laki-laki saya Henrik Hansen. Saya bukan penumpang kelas 1, 2 ataupun tiga, saya penumpang kelas paling bawah. Saya dan keluarga saya kembali ke USA setelah mengunjungi keluarga suami saya yang berada di Denmark. Hampir 20 tahun kami belum bertemu dengan mereka. Selain tertulis alasan naik Kapal Titanic tertera juga fakta yang lain. Sebelum mengunjuni kelaurga suaminya di Denmark Jennie pernah berpesan kepada saudara laki-lakinya bahwa dia punya firasat tidak akan pernah kembali ke Wisconsin, USA lagi. Diapun sempat membicarakan cara pemakamannya. Membaca boarding pass ini saja membuat saya merasa sedih.



Ruang Pameran pertama
Di ruang pertama tergantung berbagai photo-photo besar dengan tulisan berisi informasi yang diletakkan di bawahnya. Semua foto tersebut adalah krew penting kapal dan orang-orang yang berada di belakang pembuatan kapal Titanic. Tertulis besar pula “White Start Line” dan “ISMAY, IMRIE & CO” nama perusahaan yang membuat kapal Titanic. Di tengah ruangan saya mengamati foto-foto tersebut dan berhenti di sebuah foto yang sepertinya sangat tidak asing. Saya mendekati foto raksasa itu dan berdiri di depannya. Wajahnya mirip dengan karakter favorite saya dalam film Titanic—lelaki yang tentu saja memilih tenggelam bersama Titanic, yang mengembalikan jarum jam dengan harapan hampa. Tertulis di bawahnya Thomas Endrews Jr, lengakp dengan latar pendidikannya. Endrew adalah arsitek yang mendesain kapal Titanic. Menurut cerita pada saat evakuasi ia tanpa lelah turun ke deck bawah untuk memberi tahu para penumpang untuk memakai life vest mereka dan naik ke deck atas dan ia terlihat terakhir kali sibuk membuang kursi-kursi dek ke laut untuk para penumpang supaya bisa digunakan untuk terapung. Arsitek ini dilaporkan menjadi salah satu orang terakhir yang meninggalkan kapal dan jasadnya tak ditemukan. Tidak terasa ruangan pertama semakin dipenuhi oleh pengunjung, untuk melihat dan membaca setiap informasi, saya harus antri.

Ruang Pameran kedua
Akhirnya sayapun tiba di ruangan kedua. Di ruangan ini dipamerkan barang-barang yang ditemukan di kapal Titanic. Terdapat berbagai perhiasan, cermin, koper, perabotan, pakaian, kacamata, sisir, tempat tidur dan gambar-gambar ruangan di masing-masing kelas kapal Titanic. Pada pameran ini diinformasikan bahwa perbedaan fasilitas yang terdapat di setiap kelas tidak jauh berbeda. Untuk membangun Titanic dibutuhkan waktu selama 3 tahun dan lebih dari 10 bulan untuk mendekorasi Titanic.

Ruang Pameran ketiga
Ruangan ketiga dilengkapi dengan jam yang menunjukkan detik-detik tenggelamnya kapal Titanic. Terdapat pula contoh es yang ditabrak dan suhu air pada saat itu. Di bagian ini saya membaca banyak sekali kutipan-kutipan dari para survivor kapal Titanic. Kalau menonton pameran ini jangan lupa membawa sapu tangan untuk menghapus air mata.

Ruang Pameran keempat
Kapal yang berlayar pertama kali pada tanggal 10 April 1912 meninggalkan banyak sekali cerita. Di ruamgan ini terdapat berbagai cerita dan foto-foto para korban. Cerita tentang artis, model, pengusaha dan musisi membuat saya semakin bersukur atas apa yang saya miliki sekarang. Di ruangan ini terdapat pula 4 panel besar yang berisi tulisan nama-nam korban yang hilang, korban yang ditemukan mayatnya dan beberapa penumpang yang selamat. Sayapun mencari nama saya Mrs. Clause Peter Hansen alias, Jennie L Howard. Hasilnya seperti prediksi yang tertulis pad boarding pass, nama saya tertera pada korban yang hilang.

Setelah menemukan nama saya, saya pun keluar dan masuk ke ruangan kecil yang menjual berbagai souvenir kecil ala Titanic. Dari gantungan kunci, kaos, Koran yang terbit pada tanggal 12 April 1912 yang memberitakan hilangnya kapal Titanic sampai buku-buku yang ditulis terkait dengan kapal tersebut. Karena harganya terlalu mahal, saya hanya mencetak photo dan membayar $13 dollar 1 photo termasuk pajak.




Tahun ini Titanic Exhibition hanya singgah di 5 tempat di USA yaitu di Bratislava, Buena Park, Las Vegas, Orlando dan di Iowa yang dihost oleh National Mississippi River Museum yang terletak di kota Dubuque. Untuk yang berminat bisa langsung membaca atau memesan tiketnya di http://www.premierexhibitions.com/exhibitions/3/3/titanic-artifact-exhibition.

Comments

Popular posts from this blog

Esai AAS: Kamu Melamar Apa atau Siapa?

Anatomi Essay Penerima Beasiswa CCIP

ESSAY REVIEW: Perempuan Penerima Tiga Beasiswa